Merawat ''Mutiara'' Tersembunyi di Bukit Blang Sukon

Selasa, 5 September 2017 21:48 WIB

Merawat "Mutiara" Tersembunyi di Bukit Blang Sukon

INFO NASIONAL - Di Aceh, tenaga pendidik tak hanya sebagai pengajar di depan kelas yang ulung. Mereka berfungsi ganda, di satu waktu menjadi guru kelas, di sisi lain harus mampu menjadi psikolog yang bisa menenangkan anak di tengah hantaman trauma terhadap bencana. Di SDN Blang Sukon, jurus mujarab para pengajar diuji. Mereka harus terus sekolah, karena pendidikan adalah hak semua anak bangsa untuk mendapatkannya.


Sa’diyah, 33, menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari rumahnya ke tempatnya mengajar. Dengan memacu sepeda motornya, ia menerjang perbukitan di Kecamatan Bandar Baru menuju Desa Blang Sukon. Jalanan yang membelah bukit kapur dengan tanjakan yang membuat sepeda motornya merintih.


Di pagi buta ia sudah harus berangkat ke sekolah. Guru mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKN) itu menjalani rutinitas sebagai pengajar yang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu. Saat gempa bumi terjadi Desember 2016 lalu, air matanya tumpah ketika mendengar sekolahnya ambruk.


“Apalagi ada anak didik kami yang juga kena runtuhan tembok di rumahnya. Terkena kepala dan berdarah,” katanya sedih.


Bencana bagi anak-anak menjadi malapetaka yang sulit sekali untuk hilang dalam waktu sekejap. Mereka akan selalu ingat. Menjadikannya bayang-bayang yang selalu hadir setiap saat. Seperti teror yang selalu datang ketika benak mereka menerobos ingatan malam yang mencekam waktu itu.


Advertising
Advertising

“Karena anak itu adalah peniru yang ulung. Mereka merekam semua yang dilihat dan dirasakannya,” jelasnya.


Pondasi pendidikan yang dibangun pun ikut terhenti. Kesedihannya semakin memuncak ketika sebagian besar anak didiknya tak datang ke sekolah selama berbulan-bulan setelah gempa terjadi. Tiap pintu didatangi, diketuk dengan harapan mereka bisa tetap sekolah di tengah kesedihan.


“Sebagian berhasil, ada juga yang masih trauma. Baik itu anak-anaknya maupun kedua orang tuanya,” jelasnya.


Pembelajaran pun dilakukan tak sama seperti sekolah lainnya. Kalau di sekolah lain setiap masuk kelas guru langsung menyampaikan pelajaran yang direncanakan. Namun, bagi anak-anak yang jadi korban gempa bumi harus ditenangkan dulu. Mereka diberikan pemahaman serta cerita yang menyenangkan.


“Baru di sela-sela ketika suasana hati mereka nyaman, pembelajaran pun dilakukan. Semuanya memang butuh waktu yang lebih lama,” ungkapnya.


Salminah, 28, guru agama di SDN Blang Sukon juga menyadari beban yang dirasakan oleh anak-anak yang pernah jadi korban gempa bumi. Mereka harus bisa melawan dirinya sendiri untuk yakin terhadap pendidikan. Ancaman memang selalu diwaspadai, namun keinginan yang kuat untuk terus bersekolah harus bisa dipupuk setiap hari.


“Ini memang tantangan bagi para pengajar. Kami juga selalu bekerjasama dengan orang tua murid untuk memberikan pemahaman yang sama bagi anak-anaknya,” jelasnya.


Kepala Dinas Pendidikan Pidie Jaya Saiful menuturkan, merawat anak di sekolah itu sangat berbeda dengan memiliki tanaman yang disiram air setiap hari selalu bisa hidup. Anak-anak di sekolah memiliki karakter yang berbeda-beda. Makanya pengajaran bagi mereka yang pernah menjadi korban gempa bumi harus bisa intensif.


Masa-masa di tingkat SD, katanya, merupakan fase emas bagi seorang anak. Mereka harus bisa diarahkan untuk bisa meningkatkan kemampuan, tanggungjawab serta menanamkan budi pekerti yang akan berguna bagi mereka di masa mendatang. Menjadikan pribadi yang kuat dalam menjalankan kehidupan.


“Pembelajaran harus lebih baik. Sarana perlahan sudah dibangun kembali dengan bagus. Mereka bisa ditunjang dengan ruangan yang baru dan bersih, ini akan mempercepat mereka dalam menerima pelajaran,” ujar Saiful.


Secara keseluruhan, lanjutnya, sekolah yang terdampak gempa bumi sudah menjalankan aktifitas dengan baik. Rekontruksi sekolah juga banyak dibantu pihak ketiga yang tentunya meringankan beban pemerintah. Melakukan percepatan pembangunan yang diharapkan oleh banyak anak-aak di Aceh.


Di Pidie Jaya sendiri ada sekitar 32 sekolah yang hancur karena gempa bumi. Dari jumlah itu sudah ada dua sekolah yang selesai dibangun, sisanya masih menunggu pengerjaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang saat ini sudah melaksanakan proses tender.


“Penanganan trauma memang sudah dilakukan beberapa bulan terakhir. Saya kira sekarang mereka tinggal melaksanakan sekolah saja untuk mengejar ketertinggalan,” jelasnya.


Bangunan SDN Blang Sukon sendiri, katanya, sudah bisa memberikan ketenangan bagi anak-anak. Mereka pun bisa mendapatkan ruang serba guna yang bisa berfungsi sebagai tempat pendidikan diniyah maupun kegiatan ektrakurikuler.


Di Aceh sendiri, katanya, memang terus dilakukan serapan tambahan belajar berupa pendidikan keagamaan. Makanya pendidikan diniyah bisa diterima oleh anak-anak di sekolah dengan baik. Kehadiran ruang serba guna sendiri memberikan harapan baru bagi siswa untuk mengembangkan bakatnya yang lain.


“Sebelumnya jarang ada bangunan ruang serba guna di tingkat SD. Ini menambah gairah kami untuk terus meningkatkan kemampuan anak di sekolah,” sambungnya.


Head Office Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh Husaini Ismail menjelaskan, pendampingan yang dilakukan ACT memang berjalan lebih cepat dari perkiraan awal. Anak-anak yang jadi korban gempa bumi bisa cepat kembali ke sekolah. Langkah itu memang dilakukan secara perlahan, sehingga mereka bisa yakin dan tetap mau menempuh pendidikan.


Untuk mendukung rencana itu, katanya, pihaknya memang berkolaborasi dengan PT HM Sampoerna untuk membangun sekolah yang ramah gempa. Dengan sarana fisik yang memadai dan menunjang belajar, pihaknya yakin bisa meningkatkan kualitas siswa di daerah sesar aktif gempa bumi di Aceh. “Ini salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan,” jelasnya.


Makanya, kata Ismail, bangunan di SDN Blang Sukon memang didesain ramah terhadap gempa. Sebelum dibangun pihaknya mengirim tim konstruksi untuk memastikan lahan serta tingkat kekuatan pondasi. Proses pembangunan juga lebih terencana dan detail di setiap bagian.


"Semua pondasi yang kami pakai ada besi besar dari bawah tanah sampai ke atas. Adanya besi itu menjadi kekuatan ketika gempa datang, seperti rumah-rumah di zaman dulu yang kuat terhadap goncangan," jelasnya.


Ia juga membeberkan kalau pengunaan semen juga berbeda dengan bangunan pada umumnya. Termasuk pemakaian baja ringan dari kontruksi bawah sampai dengan atap yang digunakan. Bahan khusus itu sengaja diberikan untuk menopang berbagai kemungkinan.


Pihaknya juga memikirkan bangunan sekolah tetap aman ketika siswa masih berada di dalamnya ketika gempa bumi datang. "Kita tak pakai genting. Semuanya baja ringan, jadi bisa memininalisir terjadinya korban ketika gempa datang," tegasnya.


Head of North Sumatra Zone PT HM Sampoerna Tbk Herminwi mengatakan, upaya gotong royong bisa dilakukan oleh semua pihak untuk mengembalikan semangat belajar siswa di sekolah. Pihaknya turut prihatin dan berduka atas musibah bencana gempa Aceh yang merusak banyak infrastruktur di dunia pendidikan. Pembangunan ruang kelas baru serta sarana pendukung lainnya diharapkan bisa menambah semangat belajar siswa.


“Kami berkomitmen untuk senantiasa memberikan kontribusi positif bagi masyarakat melalui program tanggung jawab sosial perusahaan. Kehadiran bangunan ruang kelas baru diharapkan bisa menambah kualitas pendidikan,” jelasnya.


Sampoerna sendiri, katanya, terus berupaya untuk memperluas lingkup bantuan bagimasyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Pihaknya juga selalu menjalin hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari instansi pemerintah, yayasan mitra, akademisi, pelaku bisnis, dan masyarakat luas. Makanya Sampoerna berkolaborasi dengan lembaga kemanusiaan ACT untuk pembangunan lembaga pendidikan di Blang Sukon.


Kolaborasi dengan ACT sendiri sudah dilakukan sejak melakukan evakuasi, melayani korban dan pengungsi. Rekonstruksi bangunan sekolah baru diharapkan bisa meningkatkan semangat belajar-mengajar yang sebelumnya dilakukan di tenda darurat.


“Harapan kami kegiatan ini dapat menjadi rangkaian manajemen bencana untuk membuat solusi menyeluruh bagi masyarakat yang terkena dampak bencana,” ucapnya.


Bantuan yang diberikan oleh Sampoerna berupa pembangunan delapan ruang kelas, dua ruang guru, satu ruang belajar umum, satu ruang gedung serbaguna, perbaikan dua pintu MCK dan pembangunan pagar sekolah sepanjang 200 meter.


Semua bantuan itu diharapkan bisa meringankan beban masyarakat. Sehingga anak-anak bisa melanjutkan sekolahnya lebih aman dan nyaman. Proses belajar mengajar harus terus dilanjutkan dengan kondisi bangunan yang layak. Anak-anak di Blang Sukon juga bisa kembali menjahit cita-citanya yang sempat terpendam setelah gempa terjadi.


SDN Blang Sukon merupakan salah satu infrastruktur publik yang mengalami kerusakan parah akibat guncangan gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter. Keberadaan sekolah dasar tersebut merupakan salah satu bangunan penting di Desa Blang Sukon. Apalagi Desa Blang Sukon tersebut berada di zona sesar aktif yang rawan terhadap gempa bumi.


Kini, sebanyak 150 siswa dan 24 guru di sekolah tersebut bisa tersenyum lega. Mereka bisa kembali belajar di tempat yang layak. Sejak gempa terjadi Desember tahun lalu, tim SAR Sampoerna sudah melakukan aksi tanggap bencana dengan menyediakan bantuan kebutuhan dasar dan layanan kesehatan gratis di empat titik. Lokasi itu berada di kamp pengungsi Masjid Tuha, Masjid Ring, Ulim, dan Teungoh Musa.


Kepala Sekolah SDN Blang Sukon Ramli menjelaskan, upaya rekonstruksi yang dilakukan Sampoerna bersama ACT sangat cepat kalau terhitung sejak Mei lalu. Para siswa juga bisa belajar di ruang kelas yang layak. Mereka memiliki sirkulasi udara yang sehat dan memadai sekarang.


Kalau dulu, katanya, anak-anak sudah tak betah belajar ketika sudah memasuki pukul 10.00 WIB. Udara yang panas dan penggap menjadi salah satu alasan utama mereka tak konsentrasi dalam belajar di tenda darurat maupun rumah-rumah warga.


"Sekarang mereka malah suka berlama-lama di kelas. Bahkan Kami juga sekarang bisa punya aula. Tempat yang dulunya sangat diinginkan anak-anak," jelasnya.


Dengan adanya aula sekolah, katanya, maka pendidikan diniyah bisa terlaksana dengan baik. Kegiatan diniyah itu dilakukan tiap Rabu dan Kamis selepas sekolah. "Pengajarnya kami ambilkan dari pondok pesantren. Aula juga biasa kami pakai untuk latihan tari maupun kegiatan ekstra lainnya," sambungnya.


Bahkan, semangat para siswa untuk terus giat belajar bisa dilakukan di tempat yang layak setelah terjadi gempa beberapa bulan yang lalu. Bagi anak-anak, mereka sudah lelah dan masih ada bayang-bayang ketakutan ketika belajar di bangunan yang rapuh. Kondisi psikologis anak itu yang membuat guru harus ekstra dalam memberikan pelajaran.


"Kami harus bisa menenangkan siswa dulu. Baru pelajaran bisa diterima. Dengan bangunan yang aman, kami yakin pendidikan yang disampaikan diterima dengan baik. Hasil kegiatan belajar mengajar tahun ini bisa lebih baik lagi dengan dukungan sarana yang layak," katanya.(*)

Berita terkait

Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao

5 September 2017

Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao

Merenda Suka Cita Pendidikan Anak-anak Petani Kakao

Baca Selengkapnya

Uni Eropa Gelar Pameran Pendidikan Tinggi  

4 Oktober 2013

Uni Eropa Gelar Pameran Pendidikan Tinggi  

Pertama kalinya akan digelar di Kota SUrabaya, Jawa Timur.

Baca Selengkapnya