Suasana audiensi Pansus Hak Angket KPK bersama LSM Koar Parlemen dan Mahasiswa Trisakti di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 26 Juli 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Panitia khusus hak angket KPK telah memanggil sejumlah saksi dari berbagai kalangan untuk menguji kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa lembaga profesi pun hadir dan mengeluhkan kinerja komisi antirasuah tersebut.
Salah satunya Persatuan Jaksa Indonesia. Noor Rochmad selaku Ketua Persatuan Jaksa Indonesia mengatakan selama ini jaksa penuntut umum menjadi anak tiri dibandingkan dengan jaksa pada KPK.
Contohnya, saat bertugas memeriksa dan menyita rekening di Bank Indonesia, jaksa harus mengantongi izin. Selain itu, ada syaratnya. Sedangkan jaksa di KPK tidak. "Ini mempengaruhi hasil kerja," kata Rochmad di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 4 September 2017.
Adapun Ketua Ikatan Hakim Indonesia Suhadi menuturkan ada perbedaan pendapat di kalangan hakim yang menyebut penyidik KPK berhak atau tidak untuk menyelidiki tindak pidana pencucian uang. "Andaikata UU KPK diperbaiki, ini harus jelas, agar tak ada perbedaan pendapat hakim," ujarnya.
Pendapat mereka berlawanan dengan penilaian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang menolak panggilan pansus. Peradi berpendapat, keberadaan pansus tidak seharusnya ada karena memiliki kecacatan yuridis.
"Kami masih melihat (pansus) sebagai satu lembaga yang bukan obyektif untuk tujuan sebagaimana diamanatkan oleh hukum. Tidak seharusnya itu terjadi," kata Ketua Dewan Pimpinan Nasional Peradi Luhut M.P. Pangaribuan.
Menurut Luhut, angket KPK adalah wilayah politis. "DPN Peradi tidak dapat terlibat dalam proses penilaian kinerja KPK secara politis oleh DPR," ujarnya.
Pansus hak angket KPK pun berencana membacakan rekomendasi dari hasil kerjanya selama 60 hari pada 28 September 2017 dalam agenda rapat paripurna. Salah satu rekomendasinya adalah mencabut kewenangan KPK dalam pencabutan dan penuntutan.