Ketua KPK Agus Rahardjo (kelima kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kiri) menyaksikan aksi teatrikal saat berlangsungnya aksi dukungan untuk KPK di Jakarta, 31 Agustus 2017. Dalam aksinya mereka menuntut KPK untuk memecat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman karena membangkang perintah pimpinan dengan hadir memenuhi panggilan Pansus Angket KPK. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Padang - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai tindakan Direktur Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi Aris Budiman terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan tidak tepat. Aris melaporkan Novel ke Kepolisian Daerah Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Dalam laporannya, Aris Budiman merasa tersinggung dengan surat elektronik yang dikirimkan Novel. Surat itu berisi kritikan Novel terhadap mekanisme pengangkatan penyidik dari kepolisian yang dianggap bertentangan dengan aturan internal KPK.
"Email itu kan soal kritik internal KPK, jadi harus diselesaikan secara internal," kata Feri kepada Tempo, Sabtu 2 September 2017.
Menurut dia, seharusnya tidak ada lagi permasalahan terkait dengan email Novel terhadap Aris. Apalagi pimpinan KPK sendiri telah sepakat untuk mencabut surat peringatan kepada Novel berkaitan dengan email tersebut pada 31 Maret 2017 lalu.
Makanya, kata Feri, patut diduga aksi Aris ini untuk menutupi perkaranya sendiri. Aris sedang terlibat dalam perkara kode etik karena diduga membocorkan informasi penyidikan KPK ke anggota Komisi Hukum DPR.
"Jangan-jangan laporan Aris merupakan caranya menyerang ketika sedang tersudut kasus etik," kata Feri. Sehingga, Aris bisa mendapatkan perlindungan dari kekuatan politik yang menyerang KPK, terutama yang terlibat dalam pansus Hak Angket.
Atas laporan Aris tersebut, Novel telah ditetapkan menjadi tersangka karena dianggap melanggar Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Laporan dibuat Aris Budiman pada 13 Agustus 2017 lalu.