Mantan Hakim Syarifuddin Umar, menerima uang konsinyasi dari KPK, yang diserahkan oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 21 Agustus 2017. TEMPO/Chitra Paramaesti.
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyerahkan uang Rp 100 juta kepada mantan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin Umar. Penyerahan uang itu dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini, Senin, 21 Agustus 2017.
"Penyerahan uang Rp 100 juta kepada Syarifuddin merupakan pelaksanaan putusan perdata (Putusan MA di tingkat Kasasi, yaitu Put No. 2580 K/Pdt/2013 tanggal 13 Maret 2014 dan Peninjauan Kembali, yaitu Put No. 597 PK/Pdt/2015 tanggal 24 Februari 2016). KPK tentu wajib menghormati putusan pengadilan tersebut," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, dalam pesan singkatnya, Senin, 21 Agustus 2017.
Dua anggota Biro Hukum KPK menyerahkan cek senilai Rp 100 juta kepada Syarifuddin di PN Jakarta Selatan. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung, cek tersebut merupakan ganti rugi yang diganjar kepada KPK karena duit Syarifuddin yang disita KPK tidak berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani KPK.
"Jika dicermati sejak awal, hal ini bermula dari OTT (operasi tangkap tangan) yang dilakukan KPK di awal Juni 2011. Kami menangkap tangan transaksi suap antara seorang kurator dan hakim. OTT tersebut justru berhasil hingga terdakwa dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 150 juta serta Rp 250 juta yang merupakan bukti suap dirampas untuk negara," tutur Febri.
Kasus ini bermula saat KPK menangkap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pada 2012. Syarifuddin yang kala itu menjabat sebagai hakim pengawas pailit PT Skycamping Indonesia (PT SCI) menerima sejumlah uang dari kurator. Atas penangkapan ini, KPK lalu menahan sejumlah alat bukti yang akan digunakan di pengadilan untuk membuktikan dakwaannya.
Atas perbuatannya, Syarifuddin dihukum 4 tahun penjara. Hukuman itu dikuatkan MA. Namun, dalam putusan kasasi itu, MA memerintahkan KPK mengembalikan barang bukti lain milik Syarifuddin yang tidak berhubungan dengan perkara.
Syarifuddin kemudian mengajukan gugatan perdata setelah terdapat perbedaan pendapat terkait bukti lain yang disita saat OTT. "KPK berpandangan seharusnya upaya hukum terhadap penggeledahan ataupun penyitaan adalah di praperadilan bukan perdata. Namun hakim berpandangan berbeda, dan sebagai penegak hukum tentu kami wajib hormati putusan pengadilan,” kata Febri.
"Proses ini dapat menjadi pelajaran, agar keberatan dari proses hukum diselesaikan melalui jalur hukum yang dapat dipertanggungjawbakan. Bukan ditarik ke proses politik. KPK menghormati hasil dari proses hukum tersebut meskipun sejak awal terdapat perbedaan pandangan terkait materi perkara,” kata Febri.