TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset SETARA Institute Ismail Hasani menyarankan Setya Novanto mundur dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, ia menilai penetapan tersangka terhadap Setya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengganggu kinerja dan citra politik DPR.
“Karena itu, keputusan Partai Golkar dan kesepakatan pimpinan DPR untuk mempertahankan Setya Novanto merupakan persekongkolan pragmatis yang hanya ditujukan untuk menutup kemungkinan kocok ulang pimpinan DPR,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis, 20 Juli 2017.
Ia mengatakan Ketua DPR dan pimpinan lembaga negara lain adalah simbol dan variabel kunci kualitas kinerja institusi negara. Akibatnya, kata Ismail, standar etik bagi pimpinan harus lebih tinggi dari anggotanya. Selain itu, ia menilai acuan Partai Golkar dan pimpinan DPR tidak cukup hanya menjadikan ketentuan penetapan tersangka dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian pimpinan. “Tetapi juga harus menimbang standar etik yang luhur,” ujarnya.
Ismail menjelaskan, terdapat dua pilihan cara yang bisa dilakukan Setya untuk berhenti, yakni mengundurkan diri atau diperiksa Mahkamah Kehormatan Dewan tentang pelanggaran etika yang berpotensi menjatuhkan sanksi pemberhentian kursi pimpinan. “Sebab, dugaan korupsi masuk kategori pelanggaran berat,” ucapnya.
Jika buntu, Ismail menyarankan KPK segera menahan Ketua Umum Partai Golkar itu. Meskipun penahanan belum cukup memenuhi syarat untuk memberhentikan Novanto, kata dia, hal tersebut bisa menyelamatkan reputasi DPR dalam jangka pendek hingga ada keputusan hukum yang inkrah terkait dengan kasus hukum Setya.
Ia menilai sikap Setya Novanto mempertahankan kursi Ketua DPR bukan hanya merugikan Partai Golkar dan institusi DPR, tapi juga rakyat dan pemerintah. “Sebab, seluruh kinerja pimpinan dan anggota DPR didedikasikan untuk kepentingan rakyat,” tuturnya.