Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memberikan keterangan kepada pers terkait serangan Ransomware baru bernama WannaCry di Jakarta, 14 Mei 2017. Kementerian Kominfo melakukan himbauan dan serangkaian penangkalan dan penanganan mengatasi serangan malware. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia menginginkan dua hal dari Telegram terkait penanganan akun dan saluran percakapan radikal yaitu Self Filtering (Penyaringan Otomatis) dan SOP (Standard Operating Procedure). Keduanya dibutuhkan untuk kemudahan menangani akun atau saluran percakapan radikal.
"SOP itu dibutuhkan kalau ada (akun dan saluran percakapan radikal) yang lolos. Tetapi fokus utamanya adalah self filtering," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat dimintai keterangan di Istana Kepresiden, Selasa, 18 Juli 2017.
Sebagaimana diketahui, domain penyedia layanan percakapan Telegram masih dalam status diblokir Indonesia hingga saat ini. Sebabnya, layanan tersebut menampung akun atau saluran-saluran percakapan yang berkaitan dengan paham-paham radikal atau aksi terorisme.
Blokir tersebut diterapkan hari Sabtu pekan lalu usai Telegram mengabaikan seluruh peringatan Indonesia sejak bulan Maret. Dan, sesudahnya, Telegram mengaku salah telah mengabaikan peringatan Indonesia dan menawarkan kerjasama untuk membasmi akun-akun atau saluran percakapan kelompok radikal.
Telegram sendiri, disukai oleh kelompok-kelompok radikal karena dianggap aman. Selain jauh dari sistem moderasi, layanan tersebut juga tergolong tertutup oleh sejumlah enkripsi sehingga sulit disadap oleh penegak hukum.
Self Filtering akan mengurangi kebebasan tersebut. Rudiantara menjelaskan, pemerintah menginginkan Telegram menerapkan sistem Self Filtering agar semua ucapan, tulisan, ataupun konten yang berbau radikal bisa dideteksi oleh Telegram. Dengan begitu, sebelum konten atau ucapan itu terunggah, sistem Self Filtering bisa secara otomatis menghapusnya.