Penyandang disabilitas memperhatikan foto calon anggota legislatif di TPS 05 Panti Sosial Bina Daksa Wirajaya, Kelurahan Sindrijala, Makassar, Rabu (9/4). TEMPO/Fahmi Ali
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu menolak perubahan sistem pemilu menjadi proporsional terbuka terbatas karena dianggap kemunduran demokrasi. Sistem tersebut kini dibahas oleh panitia khusus rancangan undang-undang pemilu (RUU Pemilu) dan pemerintah. Menurut Koordinat Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Sunanto mengatakan sistem proporsional terbuka terbatas sebetulnya tak berbeda dari praktik sistem pemilu tertutup.
"Sistem ini menegasikan hak pemilih untuk memilih calon yang dikehendakinya dan merupakan langkah mundur atas perjuangan reformasi yang menghendaki akuntabilitas antara calon yang dipilih dengan pemilih/konstituen yang diwakilinya," ujar Sunanto di Kantor Rumah Kebangsaan, Jakarta Selatan, Ahad, 11 Juni 2017.
Sunanto menuturkan sistem pemilu proporsional terbuka terbatas akan sulit dipahami pemilih dan hanya kamuflase untuk membohongi pemilih. Menurut dia, sistem tersebut juga memperlihatkan dominasi partai dibandingkan rakyat pemilih. Ujung-ujungnya, kata Sunanto, sistem tersebut akan menjauhkan anggota legislatif terpilih dengan konstituennya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Pusat Hadar Nafis Gumay mengatakan tidak ada permasalahan serius sehingga harus ada perubahan undang-undang pemilihan umum (Pemilu) soal sistem pemilu. Menurut Hadar, dengan adanya sistem terbauka terbatas tersebut justru dianggap telah merusak tatanan yang sudah ada.
Dalam dua pemilu terakhir, Indonesia sudah menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Pada intinya sistem tersebut jadi penentu dari wakil rakyat terpilih itu adalah masyarakat langsung. Sistem proporsional dengan daftar calon terbuka ditujukan kepada masyarakat agar diberi ruang untuk mencoblos calon-calon terbaik menurut mereka.
"Seharusnya suara dari masyarakat itulah yang menjadi penentu calon yang akan terpilih. Yang sekarang ini justru sedang mau diambil hak tersebut di mana masyarakat punya kedaulatan untuk menentukan calon terpilih ini, hak itu mau diambil kembali dengan cara mengubah sistemnya," ujar Hadar.
Dengan sistem tertutup, kata Hadar, maka masyarakat tidak bisa mencoblos langsung calonnya, tapi hanya mencoblos gambar partai politik. Artinya, masyarakat tidak menentukan lagi siapa yang akan menjadi wakilnya dari daerah pemilihan di mana mereka tinggal.
"Saya kira ada semacam kamuflase itu. Ada upaya yang akan mengelabui, membohongi dengan istilah begitu ya. Sekarang dengan dua sistem ini, keterbukaan akan hilang. Dan saya kira ini akan menjadi satu kemunduran yang besar di dalam demokrasi Pemilu kita," ujar Hadar.