Menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X, KPH Yudanegara (Ahmad Ubaidillah) mengikuti ritual Ngabekten kepada raja jawa Sri Sultan Hamengkubuwono X di Bangsal Kencono, kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (8/8). TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO,Yogyakarta – Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menilai situasi politik Tanah Air yang diwarnai berbagai ujaran kebencian layaknya pertunjukan wayang kulit yang tak jelas klimaksnya.
“Untuk situasi sekarang, kita belum mendengar adanya suluk ki dalang yang menyejukkan penuh harmoni,” ujar Hamengku Buwono X saat menyampaikan orasi peringatan Hari Lahir Pancasila di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Kamis, 1 Juni 2017.
Suluk merupakan bagian dari pertunjukan wayang kulit, yakni saat dalang melantunkan tembang. Biasanya, tembang ini berisi puji-pujian berbahasa Jawa yang sarat harmoni.
Di hadapan ribuan warga yang duduk lesehan di pagelaran Keraton, Sri Sultan menuturkan, ketika suluk yang ditunggu tak kunjung muncul, yang terjadi semua pihak saling gregetsaut (klaim) beradu benar dan menangnya sendiri disertai ujaran kebencian kepada pihak lain. “Dunia politik jadi ajang debat yang penuh paradoksal, kontroversial, juga vulgar,” ujar Sultan.
Sri Sultan melihat adu argumen dan nilai yang ada pun membingungkan. Pendapat satu ditimpa pendapat lain dan berulang-ulang, tapi hampir tak ada yang menyentuh makna substansial.
”Semua terpenjara adegan gara-gara (bencana, perang) yang vulgar, dan lupa Pancasila sebagai basis rekonsiliasinya,” ujar Sultan.
Sultan mengingatkan, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, yang pernah menjadi negara bangsa yang kuat dan menyatukan, akhirnya surut dan runtuh dari dalam.
”Kalau NKRI tak lagi harga mati dan Pancasila justru mati suri, jangan tangisi jika Indonesia tinggal cerita menyusul sejarah Sriwijaya dan Majapahit,” ujar Sultan.