Menteri Keuangan yang juga Ketua Pansel OJK Sri Mulyani usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 13 Maret 2017. Pansel OJK menyerahkan 21 nama calon anggota Dewan Komisioner OJK kepada Presiden untuk selanjutnya diajukan kepada DPR guna menjalani uji kelayakan dan kepatutan. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta – Menyusul naiknya perkara dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ke penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta penegak hukum juga mengejar obligor-obligor BLBI nakal. Sebab, kata dia, masih ada sejumlah obligor yang belum memenuhi kewajiban piutangnya.
”Saya tidak punya angkanya sekarang (kewajiban yang belum terpenuhi). Nanti saya lihat lagi berapa,” ujar Sri Mulyani saat dicegat Tempo di Istana Kepresidenan, Rabu, 26 April 2017.
Sebagaimana telah diberitakan, KPK baru saja menaikkan status perkara BLBI ke penyidikan setelah bertahun-tahun lidik. Adapun nama yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Tumenggung. Ia terjerat Pasal 2 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Adapun dalam perkara BLBI yang disidik KPK, peran Syafruddin Tumenggung berkaitan dengan penerbitan SKL untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim. Penyelewengan SKL oleh BDNI dan Syafruddin disebut merugikan negara sekitar Rp 3,7 triliun.
Sebagai catatan, KPK juga telah menyelidiki status SKL BLBI kepada sejumlah pengusaha selain Sjamsul Nursalim. Setidaknya, ada 48 bank di Indonesia yang menerima bantuan Bank Indonesia dengan nilai total sekitar Rp 144 triliun.
Sri Mulyani menyatakan pihaknya selalu menyuplai data kepada penegak hukum untuk membantu pengejaran obligor-obligor yang nakal. Ia mengklaim Kementerian Keuangan masih menyimpan semua data piutang obligor, apa yang belum terpenuhi, dan semuanya boleh digunakan.
”Pada dasarnya, semua kewajiban yang belum dipenuhi, apalagi setelah ada perjanjian antara obligor dan pemerintah, ya, harus dikejar. Hal itu disertai dengan bunganya karena kejadian ini kan 20 tahun yang lalu,” ujarnya menegaskan.
Adapun Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa hal yang disidik KPK dalam perkara BLBI bukanlah kebijakan (SKL) yang dikeluarkan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri lewat Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002. Sebaliknya, hal yang disidik KPK berkaitan dengan pelaksanaan SKL yang melibatkan obligor-obligor nakal.
”Bedakan mana kebijakan dan mana pelaksanaan. keputusan presiden, peraturan presiden, dan instruksi presiden adalah kebijakan, bukan pelaksanaan. Kebijakan dikeluarkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada kala itu. Detailnya tanyakan ke KPK,” ujar Presiden Joko Widodo.