Para peneliti dari Perludem Fadli Ramadhanil, Pusako Univ. Andalas Feri Amsari, ICW Donal Fariz, Lingkar Madani Ray Rangkuti, Pukat UGM Oce Madril, ICW Almas Sjafrina, mengikuti diskusi politik dinasti, korupsi dan Pilkada serentak, di Kantor ICW, Jakarta, 13 Januari 2017. Dalam diskusi ini para peneliti menyatakan masyarakat sebagai pemilih punya peran besar untuk memutus dinasti politik. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, menilai rencana pengajuan hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani dalam kasus dugaan korupsi e-KTP adalah tindakan kontradiktif dan ironis. "Apakah DPR akan mempertontonkan arogansinya,” kata dia di kantor ICW Jakarta, Ahad, 23 April 2017.
Almas menuturkan hak angket merupakan hak yang melekat di DPR. Ia menilai sah-sah saja apabila DPR mengajukan hak angket. Namun ia mempertanyakan seberapa penting hak itu diajukan dalam proses penyidikan kasus korupsi e-KTP.
Menurut Almas, jangan sampai hak angket menjadi upaya dalam tanda kutip penyelamatan terhadap DPR. Sebab, sejumlah anggota DPR telah disebut dalam dakwaan korupsi e-KTP. Mereka diduga terlibat dan ikut menerima duit proyek tersebut.
ICW bersama perempuan antikorupsi berpandangan bahwa hak angket yang akan diajukan DPR tidak tepat dan salah sasaran. Mereka mendesak DPR membatalkan rencana hak angket kepada KPK tersebut.
Almas menyebutkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Hak itu dinilai lebih tepat diajukan DPR terhadap kebijakan pemerintah, bukan institusi lain di luar pemerintah. “Seharusnya DPR mendukung upaya pemberantasan korupsi,” ujar dia.
Komisi Hukum DPR mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan, Miryam dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP. DPR mengancam akan menggunakan hak angket untuk memerintahkan rekaman itu dibuka.
Dalam rapat kerja yang berlangsung pada Selasa, 18 April 2017, sejumlah anggota dan pimpinan komisi meminta rekaman pemeriksaan Miryam dalam kasus e-KTP dibuka. Namun KPK berkukuh menolak permintaan tersebut.