TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menanggapi sikap Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat yang mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. DPR bahkan mengancam akan menggunakan hak angket untuk memerintahkan rekaman itu dibuka.
“Apa yang dilakukan DPR hanya bentuk manuver politik untuk menyelamatkan anggota yang terlibat dalam kasus itu,” ujar peneliti ICW, Aradila Caesar, saat dihubungi Tempo, Rabu, 19 April 2017.
Baca juga: DPR Desak Buka Rekaman Pemeriksaan Miryam, KPK Menolak
Aradila menuturkan, permintaan DPR untuk membuka rekaman pemeriksaan atau Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Miryam tidak dapat dibenarkan. Sebab, turunan BAP hanya dapat diberikan kepada tersangka dan penasihat hukumnya. Sifat BAP rahasia dan tidak boleh dibuka ke publik, karena menyangkut penyidikan sebuah perkara.
Menurut dia, jika BAP itu dibuka di hadapan publik, ada kemungkinan penyidik akan kesulitan menggali fakta karena prosesnya sudah dicampuri. “Selain itu, rentan terhadap manipulasi, misalnya barang bukti dihilangkan dan alat bukti dikondisikan. Makanya BAP bersifat rahasia,” katanya.
Dalam rapat kerja yang berlangsung tadi malam, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi meminta rekaman itu dibuka. Namun KPK bersikukuh menolaknya. Saat rapat berlangsung, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Hanura, Dossy Iskandar, menyarankan DPR menggunakan instrumennya yang dapat membuat KPK membuka rekaman itu. "Jika KPK menyatakan tidak bisa, ini harus ditarik ke instrumen parlemen yang memungkinkan bisa, yaitu hak menyatakan pendapat atau turun sedikit, hak angket," katanya.
Menjelang penutupan rapat, dan saat pembacaan rumusan kesimpulan hasil rapat, KPK merasa keberatan dengan poin nomor empat. Di poin itu, DPR meminta pimpinan KPK mengklarifikasi dengan membuka rekaman pemeriksaan Miryam. "Kami mohon maaf, kami mengharapkan kata-kata di poin empat berakhir di klarifikasi dan menghapuskan membuka rekaman," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Menyikapi sikap dari pimpinan KPK itu, pimpinan rapat, Benny K. Harman, mempersilakan anggota untuk memberi tanggapan. Mayoritas anggota mendorong agar mengajukan hak angket. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, menuturkan, fraksinya setuju mengajukan hak angket. "Kami akan menggunakan hak konstitusional kami. Kami menduga ada penyimpangan di sini," katanya.
Sedangkan anggota Komisi Hukum lainnya dari Fraksi Partai NasDem, Taufiqulhadi, mengatakan pengajuan hak angket ini diperlukan lantaran ada hal yang tidak normal dalam penyidikan di KPK. "Kami akan menggunakan hak konstitusional kami," katanya.
Sementara itu, Agus menyatakan menghormati sikap DPR. "Itu hak DPR. Kami tidak bisa menolak," ucapnya. Agus menjelaskan pihaknya bersikeras tidak mau membuka rekaman ini lantaran Miryam saat ini sedang berstatus sebagai tersangka kesaksian palsu. Pemeriksaan terhadap Miryam di kasus ini, kata dia, masih berlangsung. "Kan masih penyidikan, kalau BAP-nya dibuka? Kan belum, dong," ucapnya.
Saat diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Miryam mengaku diancam enam orang anggota Dewan. Melalui keterangan penyidik KPK, enam orang terduga itu adalah Bambang Soesatyo, Desmond J. Mahesa, Aziz Syamsuddin, Sarifuddin Sudding, Masinton Pasaribu, dan satu orang yang tidak diingat namanya.
GHOIDA RAHMAH | AHMAD FAIZ