Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Farouk Muhammad (kiri) dan GKR Hemas (kanan) saat memimpin Sidang Paripurna Luar Biasa di Gedung Nusantara V, Jakarta, 5 Oktober 2016. Paripurna ini beragendakan penyampaian Ihtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) semester I tahun 2016 dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) oleh BPK RI. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Konflik kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berlanjut pasca sidang paripurna yang berbuntut keributan pada Senin, 3 April 2017. Dua kubu yang bersebrangan sama-sama menggelar rapat panitia musyawarah (Panmus), Senin, 10 April 2017.
Satu kubu menganggap sidang paripurna yang memilih Oesman Sapta Odang sebagai Ketua DPD legal. Sedangkan kubu lainnya, yang dipelopori Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menganggap ilegal.
DPD di bawah kubu Oesman Sapta menggelar rapat panmus di ruang rapat pimpinan lantai 8 Gedung Nusantara III. Sedangkan kubu Hemas dan Farouk menggelar rapat di Ruang Samithi, Gedung Nusantara V.
"Saya kira apa yang mereka lakukan (kubu Oesman Sapta) menurut kami adalah ilegal," kata Hemas saat ditemui di Ruang Samithi.
Anggota DPD asal Jawa Tengah Akhmad Muqowwam menyangkal anggapan bahwa DPD terpecah. Menurutnya, kepemimpinan Oesman Sapta adalah sah. "Setahu saya enggak ada dua kubu). Pak OSO (Oesman Sapta Oedang) sudah dilantik," ujarnya di lantai 8, Gedung Nusantara III.
Rapat panmus kubu Oesman Sapta dihadiri oleh 17 orang. Adapun panmus yang digelar Hemas dan Farouk diikuti oleh 14 orang tanpa kehadiran Sekretariat Jenderal DPD. Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto justru hadir di rapat panmus kubu Oesman Sapta.
"Sekjen itu berpihak. Tapi mau difasilitasi atau tidak kami harus tetap melaksanakan rapat panmus ini. Panmus yang dilaksanakan dan diprakarsai Sekjen itu juga merupakan kesalahan. Panmus ilegal," kata Hemas.
Panmus dua pihak ini sama-sama membahas soal jadwal rapat paripurna. Kubu Hemas telah menyelesaikan rapat panmus, sementara itu rapat kubu Oesman Sapta masih berlangsung.