Alih fungsi lahan gambut yang masuk wilayah moratorium 2011-2012 untuk perkebunan sawit di Desa Pungkat, Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. TEMPO/Erwin Zachri
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi lembaga swadaya masyarakat Human Rights Working Groups (HRWG), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), serta Yayasan Auriga menganggap Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan belum diperlukan. Alasannya, hampir tidak ada norma baru yang ditawarkan dalam RUU ini, bahkan lebih banyak aturan-aturan yang dimuat mengaburkan upaya pemerintah saat ini.
"Keberadaan RUU Perkelapasawitan justru membuat regulasi makin carut-marut karena RUU ini melegalkan tindakan pelanggar hukum di areal gambut," kata Deputi Direktur Advokasi Elsam Andi Muttaqien di Menteng, Jakarta, Ahad, 5 Februari 2017.
Menurut Andi, undang-undang ini terkesan akan melegalkan perkebunan kelapa sawit yang saat ini dianggap ilegal. Hal itu tertulis dalam Pasal 23 draf RUU itu. Pasal tersebut mengatur soal hak budi daya kelapa sawit di atas sebidang tanah atau lahan setelah memperoleh izin usaha. Adapun sebidang tanah yang dimaksud adalah tanah mineral dan/atau lahan gambut.
"Nampak jelas sekali dijadikan instrumen memutihkan atau memberi celah perusahaan agar dapat beroperasi di lahan gambut," ujarnya.
Peneliti dari Yayasan Auriga, Syahrul Fitra, menuturkan RUU ini memuat aturan tentang perlindungan lahan gambut di Pasal 49. Namun pasal itu dianggap masih abstrak dan berpotensi bertolak belakang dengan kebijakan moratorium lahan gambut yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"PP itu mengatur setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budaya di areal gambut," ujar Syahrul.
Selain masalah gambut, RUU ini dianggap belum diperlukan. Menurut Andi, 70 persen regulasi yang ada terkait dengan masalah kelapa sawit sudah dimuat dalam perundang-undangan yang lain. "Ada di UU P3H, Undang-Undang tentang Perkebunan, dan lainnya," ucapnya.
Menurut Andi, RUU ini belum memperhatikan kesejahteraan para petani. Pasal yang mengatur khusus tentang kemudahan bagi petani hanya ada di pasal 29. "Namun hal itu masih perlu diturunkan dalam peraturan pemerintah. Sehingga operasionalnya akan sangat bergantung pada kapan pembentukan PP itu," ucapnya.
Kementan Kebut Peraturan Baru soal Peremajaan Sawit Rakyat
56 hari lalu
Kementan Kebut Peraturan Baru soal Peremajaan Sawit Rakyat
Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian atau Kementan Andi Nur Alamsyah menyatakan sedang membahas simplifikasi aturan dan persyaratan perihal peremajaan sawit rakyat atau PSR.