Petugas kepolisian menunjukan barang bukti tindak pidana kejahatan sumberhayati dan kekayaan alam/satwa di Lapangan Bhayangkara, Kebayoran Baru, Jakarta, 2 Februari 2016. Tersangka dikenakan dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan d dan Pasal 40 ayat (2) UU RI Nomer 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tempo/ Aditia Noviansyah
TEMPO.CO,Jakarta – Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kemal Amas menggandeng Polri, Kejaksaan Agung, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mendorong pemakaian Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang guna menjerat pelaku kejahatan satwa.
Tujuannya adalah agar hukuman bagi para pemburu dan pedagang satwa liar dilindungi di Indonesia bisa lebih berat.
Menurut Kemal, saat ini kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dihukum rata-rata paling berat 2 tahun penjara atau masih di bawah ketentuan hukuman maksimal dalam UU Nomor 5 Tahun 1990. Hukum ini dinilai tidak memberikan efek jera bagi para pelaku karena yang sering ditangkap merupakan orang dan jaringan yang sama.
Kemal mengatakan saat ini pemerintah sedang mengajukan revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Maksud dari revisi itu adalah agar hukuman pidana bagi pelaku kejahatan satwa dapat dijatuhkan lebih dari 5 tahun penjara dan denda di atas Rp 100 juta.
“Pemerintah melihat peluang besar untuk memakai Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang bisa menjerat pelaku dengan hukuman yang lebih berat,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 3 Februari 2017.
Perwakilan dari PPATK Beren, Rukur Ginting, mendukung penerapan sistem antipencucian uang dalam kasus perdagangan satwa di Indonesia.