Presiden terpilih Jokowi menyalami Presiden Indonesia SBY di sela-sela acara Global Forum ke-6 United Nations Alliance of Civilization di Nusa Dua, Bali, 27 Agustus 2014. TEMPO/Johannes P. Christo
TEMPO.CO, Jakarta - Harapan sebagian masyarakat adanya pertemuan dalam waktu dekat antara Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6 yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, dengan asumsi bisa mendinginkan suhu politik yang memanas belakang ini, mendapat tanggapan analis politik dari Universitas Indonesia (UI), Donny Gahral Adiansyah.
“Pertemuan tersebut tidak perlu dilakukan, sebab publik justru akan menilai SBY bernegosiasi dengan Jokowi untuk kepentingan politik jangka pendek,” kata Donny saat dihubungi Tempo, Senin, 23 Januari 2017.
Ia menilai dalam skala 1-10, kondisi politik di angka 8.5. “Masih aman-aman saja,” katanya. Donny melanjutkan, pertemuan antara Jokowi dan SBY tidak akan meredam. “Suhu politik akan terus memanas sampai pertengahan 2017, ada atau tidak adanya pertemuan Jokowi dan SBY,” kata pengamat politik ini.
Tak ada yang harus berperan mempertemukan Jokowi dan SBY, menurut Donny, komunikasi politik SBY dan Jokowi cukup dimediasi media, baik media mainstream maupun media sosial. “Ini komunikasi politik tingkat tinggi yang tidak membutuhkan basa-basi silaturahmi,” katanya meyakinkan.
Donny menyadari posisi Jokowi dan SBY memang berhadapan, tapi membuat mereka jadi duduk bersama pun tidak akan berdampak signifikan terhadap suhu politik negeri ini.
“Jokowi justru perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan politik non-negara yang banyak ditunggangi pemain politik formal dan bisa jadi liar dan tak terkendali, misalnya dari buruh, mahasiswa maupun ulama,” kata Donny.
Donny melihat adanya agenda SBY pada masa depan politik anaknya. "Sementara pemain-pemain lain, agendanya adalah masa depan dirinya sendiri," katanya.