Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, memberikan keterangan pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 29 April 2016. Ia mengadukan Sohibul Iman, Surahman Hidayat, dan Hidayat Nur Wahid ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah meminta pemerintah terbuka soal data warga negara asing dan tenaga kerja asing di Indonesia. Menurut dia, belakangan ini masyarakat resah dengan banyaknya TKA ilegal yang ditemukan bekerja di Indonesia.
"Berikan jawaban dan data yang valid, resmi. Jangan tiap lembaga berikan data yang berbeda," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 23 Desember 2016.
Fahri menuturkan, pemerintah pertama-tama harus membuka data jumlah kedatangan WNA, terutama asal Cina. Setelah itu, kata dia, menjelaskan ke publik berapa yang berstatus TKA dan berapa yang hanya sebatas turis.
Fahri meminta pemerintah tak membandingkannya dengan jumlah tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Jika dibandingkan, kata dia, TKI di luar negeri akan lebih banyak. "Yang dipermasalahkan legal atau tidaknya," tuturnya.
Apabila kedatangan TKA itu legal, dia melanjutkan, maka jelas apa dasar legalitasnya. Sebab, kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini, undang-undang di Indonesia mengatur spesifikasi dan kriteria TKA yang diperbolehkan bekerja di Indonesia. "Kita tidak menerima TKA sebagai buruh. Yang diterima yang memiliki keahlian khusus dan diajarkan ke pekerja lokal," katanya.
Fahri menuturkan, dia pernah menemukan TKA yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Inspeksi mendadak yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja, juga kerap menemukan hal yang sama. "Artinya keresahan masyarakat beralasan," ucapnya.
Pemerintah juga diminta terbuka dan memberikan penjelasan. Bila sudah dilakukan, Fahri mengatakan, hal itu akan menjadi bahan bagi Dewan untuk bertanya resmi.
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
2 hari lalu
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.