Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo menjawab pertanyaan awak media dalam jumpa pers di ruang KK V Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Rabu, 29 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Arif Wibowo, hari ini mendatangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Arif datang untuk mengklarifikasi ketidakhadirannya pada pemeriksaan yang dijadwalkan kemarin dalam perkara pengadaan kartu identitas kependudukan elektronik atau e-KTP.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut dianggap mangkir lantaran kemarin tidak hadir sebagai saksi atas tersangka dugaan korupsi proyek e-KTP, Sugiharto. Arif pun mengajukan diri untuk diperiksa hari ini. “Kalau memang hari ini bisa diperiksa, diperiksa,” ujar Arif di gedung KPK, Rabu, 14 Desember 2016.
Arif membantah tak memberikan keterangan ketika tidak menghadiri pemeriksaan kemarin. Arif mengatakan surat panggilan dari KPK baru tiba di DPR pukul 14.00 kemarin. Padahal pemeriksaan dijadwalkan hari itu juga.
Arif mengklaim baru mengetahui panggilan pemeriksaan tersebut malam harinya. Arif menyatakan ketidakhadirannya hanya persoalan teknis. “Saya minta klarifikasi,” kata Arif. Arif mengaku sibuk rapat sehingga baru mengetahui surat tersebut pada malam hari.
Kemarin, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap anggota Komisi ll tersebut sebagai saksi untuk tersangka Sugiharto dalam kasus korupsi e-KTP. Namun Arif mengatakan tidak tahu hari ini akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka siapa. “Nanti tak kabari, nunggu pemeriksaan,” tutur Arif.
Dalam perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP, penyidik KPK baru menetapkan dua tersangka. Keduanya adalah Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri; serta Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Sugiharto juga merupakan pejabat pembuat komitmen proyek pengadaan e-KTP.
Baik Sugiharto maupun Irman diduga menyalahgunakan wewenang sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 2 triliun.