Siswa-siswi SMP N 1 Bandar Lampung, mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2016, Lampung, 9 Mei 2016. Tahun ini, sebanyak 132.574 siswa-siswi yang tersebar di 1.423 sekolah baik negeri maupun swasta di Lampung tercatat mengikuti UNBK 2016. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, mengatakan pihaknya sepakat dengan rencana pemerintah dalam menghapus pelaksanaan ujian nasional (UN).
Menurut dia, UN memiliki potensi kecurangan yang tinggi, dari perilaku tidak jujur hingga menimbulkan bibit-bibit korupsi.
Menurut Febri, pelaksanaan UN juga berseberangan dengan semangat Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pencegahan korupsi. “UN merusak semua program KPK,” kata dia di kantor ICW Jakarta, Ahad, 4 Desember 2016.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pihaknya telah memutuskan untuk melakukan moratorium UN mulai 2017. Ia mengaku Kementerian telah melakukan pengkajian mendalam terhadap pelaksanaan UN tersebut.
Salah satu pertimbangan menghapus UN adalah tingkat keberagaman bidang pendidikan di setiap daerah yang tidak mampu diakomodasi dengan UN.
Febri mengatakan UN berpotensi mencetak bibit-bibit korupsi. Ia menjelaskan, dalam prakteknya, UN memiliki banyak kecurangan. Ia mencontohkan guru yang memberikan bocoran jawaban kepada siswanya.
Selain itu, UN dinilai tidak mampu mengukur rata-rata kemampuan setiap sekolah di Indonesia. Febri menilai pemerintah belum bisa memenuhi standar pendidikan secara nasional, dari kualitas guru, infrastruktur, dan sarana-prasarana pendidikan. “Kalau standar tidak dipenuhi pemerintah pusat, jangan paksakan ada UN,” ujar dia.
Febri menambahkan, KPK memiliki program-program pencegahan korupsi di sektor pendidikan. Ia menilai KPK juga harus turun tangan menyikapi pelaksanaan UN selama ini. “Kalau KPK tidak masuk, akan bermasalah,” ujar dia.