Alat berat membersihkan material longsor dan rumah yang menutupi jalan nasional Sumedang Cirebon di Desa Ciherang, Sumedang, Jawa Barat, 21 September 2016. Dalam bencana longsor tersebut, dikabarkan telah memakan korban jiwa sebanyak 3 orang. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO,Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan sebanyak 40,9 juta orang terancam bahaya tanah longsor. Ancaman muncul seiring dengan meningkatnya curah hujan.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan jumlah orang yang terancam setara dengan 17,2 persen dari penduduk Indonesia.
“Mereka terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang hingga tinggi,” kata Sutopo dalam keterangan tertulis, Rabu, 16 November 2016.
Dari total jumlah tersebut, terdapat 4,28 juta balita, 323 ribu penyandang disabilitas, dan 3,2 juta lansia.
Menurut Sutopo, tanah longsor adalah jenis bencana yang paling mematikan dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data hingga 16 November 2016, terdapat 487 kejadian tanah longsor yang menyebabkan 161 orang tewas, 88 orang luka, serta 38.092 orang menderita dan mengungsi. Tanah longsor juga merusak ribuan rumah.
Sutopo menambahkan, mereka terpapar dari tanah longsor pada saat musim hujan. Sebagian besar tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya tanah longsor. Banyak masyarakat bahkan tidak paham antisipasi mengenai longsor.
“Mitigasi bencana, baik struktural maupun non-struktural, masih sangat minim sehingga, setiap musim hujan, longsor mengancam jiwa dan harta milik masyarakat,” kata dia.
Sebagai langkah pencegahan, BNPB telah memetakan daerah rawan longsor. Peta berskala 1 : 250 ribu sudah dibagikan kepada seluruh pemda. PVMBG Badan Geologi bahkan menyusun peta prediksi longsor bulanan sesuai dengan ancaman curah hujan yang akan terjadi. Peta tersebut juga dibagikan ke pemda dan dapat diunduh di website PVMBG disertai dengan tabel penjelasan daerah-daerah kecamatan yang rawan longsor tinggi, sedang, hingga rendah.
BNPB juga telah mengembangkan peta risiko bencana tanah longsor yang memuat peta bahaya, kerentanan, dan kapasitas. Namun peta tersebut sebagian besar belum menjadi dasar dalam penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah.
Menurut Sutopo, implementasi tata ruang berbasis peta rawan longsor masih sangat minim. Banyak permukiman masyarakat berkembang di daerah-daerah zona merah, bahkan di bawah lereng perbukitan atau pegunungan yang hampir tegak lurus.
Daerah perbukitan dan pegunungan adalah daerah yang subur. Tanah gembur umumnya subur dan menyediakan mata air berlimpah. Namun daerah tersebut rawan longsor sehingga peruntukannya harus dibatasi.