Tolak Pendidikan Layanan Primer, Dokter Solo Usung Keranda
Editor
Yudono Yanuar Akhmadi
Senin, 24 Oktober 2016 13:56 WIB
TEMPO.CO, Surakarta - Seratusan dokter dan mahasiswa kedokteran menggelar aksi di Bundaran Gladak, Solo, Senin, 24 Oktober 2016. Mereka menolak kebijakan pemerintah yang mewajibkan dokter untuk mengikuti pendidikan layanan primer.
Mereka menggelar aksi dengan membawa berbagai poster yang berisi penolakan terhadap kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran itu. Mereka juga mengusung keranda mayat yang menyimbolkan kebijakan kesehatan yang tidak berpihak pada rakyat.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Solo, Adji Suwandono, menyebut tidak semua dokter ikut dalam aksi tersebut. "Sebagian tidak ikut lantaran harus tetap menjalankan kewajibannya di rumah sakit dan puskesmas," katanya.
Menurut Adji, pihaknya memprotes kebijakan itu lantaran membuat masa pendidikan dokter menjadi lebih panjang. "Seorang dokter harus sekolah hingga sepuluh tahun untuk bisa praktek," katanya. Akibatnya, rasio antara jumlah dokter dan penduduk semakin tidak ideal.
Selain itu, pendidikan dokter layanan primer membuat biaya pendidikan kedokteran semakin meningkat. "Biaya kesehatan menjadi semakin tinggi," katanya. Pendidikan kedokteran menjadi sulit dijangkau masyarakat menengah ke bawah.
Adji menambahkan, sebenarnya dokter di Indonesia sudah memiliki kompetensi di bidangnya. Sebab, mereka juga telah menjalani uji kompetensi secara berkala. "Dokter juga selalu meningkatkan kemampuan melalui berbagai kegiatan simposium," katanya.
Sebenarnya, lanjutnya, kebijakan tersebut tidak banyak berpengaruh kepada para dokter, khususnya yang telah berpraktek. "Tapi kami memikirkan nasib adik-adik kami yang baru menempuh kuliah pendidikan dokter," katanya. Karena itu, aksi tersebut juga melibatkan sejumlah mahasiswa kedokteran.
Salah satu mahasiswa, Almyra, mengatakan perjuangan mahasiswa kedokteran sudah sangat berat. "Tidak jarang kami harus berjaga di rumah sakit hingga 24 jam untuk memastikan bahwa kami sudah cukup berkompeten," katanya.
Kebijakan tersebut membuat masa depan mahasiswa kedokteran menjadi tidak jelas. Selain membutuhkan waktu lama, beaya yang harus dikeluarkan juga meningkat. "Ini merupakan kebijakan yang tidak pro rakyat," katanya.
AHMAD RAFIQ