Aliansi Orang Tua Korban Vaksin Palsu RS Harapan Bunda bertemu dengan Komnas Perlindungan Anak. Mereka berharap KPAI mampu menjembatani tuntutan mereka ke pemerintah dan pihak berwajib. TEMPO/Auzi Amazia
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga korban mendorong pemerintah menyelesaikan kasus vaksin palsu. Pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Wahyu Nandang, mengatakan pihak keluarga korban vaksin palsu tidak melihat tanggapan pemerintah dan korporasi untuk menyelesaikan kasus ini.
“Kami masih khawatir dan tak tahu penyelesaian kasus ini, termasuk langkah keluarga pasien memperjuangkan hak-haknya,” ucap Nandang di kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu, 13 Agustus 2016.
Ia juga menilai satuan tugas penyelesaian kasus yang dibentuk pemerintah tidak berjalan efektif. Ia menduga satuan tugas diisi lembaga dan instansi yang terlibat dalam keberadaan vaksin itu. “Beberapa lembaga menjadi bagian dari kasus ini dan tidak ada partisipasi publik untuk satgas ini.”
Kasus vaksin palsu mengemuka setelah kepolisian menemukan indikasi peredaran vaksin palsu. Kementerian Kesehatan, atas desakan Dewan Perwakilan Rakyat, membuka daftar rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Sebanyak 14 rumah sakit di Jakarta dan Bekasi ditemukan menggunakan vaksin palsu.
Ketua Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu Rumah Sakit Harapan Bunda Agus Siregar menduga ada upaya dari rumah sakit yang terlibat untuk lari dari tanggung jawab. Tak kunjung ada penyelesaian penanganan medis, menurut dia, mempersulit orang tua korban untuk memberi obat dari rumah sakit lain. “Kami jadi sulit berobat karena banyak yang takut dampak dari pengobatan di Harapan Bunda,” tuturnya.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia Marius Widjajarta mengatakan penyelesaian masalah tidak semestinya membuat keluarga korban bingung. Ia mencontohkan hak kepemilikan ringkasan rekam medis yang menjadi milik pasien. “Ini yang tidak dilakukan rumah sakit.” Menurut dia, ringkasan rekam medik harus diberikan untuk mengetahui kapan dan apa vaksin yang dikasih. “Sekarang ujug-ujug minta agar di-general check up.”
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.