TEMPO.CO, Jakarta -Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali (PK) kedua kalinya terpidana mati perkara narkoba Michael Titus Igweh. Majelis PK yang dipimpin Artidjo Alkostar dengan anggota Andi Samsan Nganro dan Suhadi secara bulat menilai dalil dan novum atau bukti baru dalam pengajuan PK kedua kalinya terpidana yang sudah ditembak mati itu tak kuat.
"Tak ada bukti yang berkualitas novum," kata Artidjo dalam putusan yang diketok pada 20 Juli 2016 itu. "Perbuatan terdakwa menawarkan jumlah dijual, menyalurkan, menyerahkan, menerima dan menjadi perantara dalam jual beli heroin secara bersama-sama, berlanjut dan terorganisir merupakan tindak pidana."
Sedangkan, Suhadi dalam pertimbangannya menilai permohonan PK Titus tak dapat diterima karena melanggar Surat Edaran MA nomor 1 tahun 2012 yang mengharuskan pengajuan oleh terhukum sendiri di hadapan panitera. "Permohonan justru melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu, Nusakambangan."
Kepolisian Daerah Metro Jaya menguak perkara jaringan narkoba ini berawal dari penangkapan Marlena yang membawa 50 gram heroin di daerah Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Polisi kemudian menggrebek rumah milik Kholisan Nkomo di daerah yang sama dan menemukan lagi heroin seberat 50 gram. Dalam penggrebekan ini, polisi menangkap Izuchukwu Okoloaja yang kemudian disimpulkan sebagai Nkomo.
Berdasarkan keterangan Okoloaja, polisi menggrebek dan menangkap Titus di rumahnya. Dalam operasi yang digelar 22 Agustus 2002 itu, polisi tak menemukan narkoba di rumah Titus.
Polisi kemudian menggeledah ulang rumah Nkomo dan Titus pada 29 dan 31 Agustus 2002. Di rumah itu polisi menemukan 5.800 gram heroin dan 9 gram di rumah Titus. Seluruh narkoba itu diduga berasal dari Hillary Chimezie yang tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara, melalui dua transaksi bertahap.
Dalam berkas pengajuan PK, Titus membantah temuan narkoba di rumahnya dan menuding polisi yang sengaja menaruhnya untuk bukti. Titus juga mengatakan dirinya terpaksa mengatakan sebagai bandar narkoba karena polisi terus menyiksa dalam proses penyusunan berita acara pemeriksaan.
Hal yang sama juga terjadi pada Okoloaja dan Marlena sehingga keduanya meninggal dunia dalam pemeriksaan polisi. Bahkan Okoloaja dipaksa mengaku sebagai Nkomo yang adalah bandar narkoba asal Zimbabwe dan suami Marlena.
Selain kejanggalan proses hukum itu, Titus mengajukan dalil utama yaitu kekhilafan majelis hakim yang memutus hukuman mati pada perkara PK nomor 251 tahun 2011 atas nama lelaki asal Nigeria itu. Pasalnya, putusan PK yang menilai Titus memiliki heroin dari Hillary Chimezie justru berbeda dengan putusan PK nomor 45 tahun 2009.
Dalam putusan PK nomor 45 tahun 2009 atas nama Hillary, majelis hakim menerima kesaksian pemohon yang membantah telah memberikan heroin kepada Titus dan Okoloaja, sehingga hanya menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara.
"Putusan PK Hillary tak bersifat menentukan dan signifikan. Putusan itu juga tak melemahkan pembuktian unsur tindak pidana," kata anggota majelis hakim Andi Samsan Nganro. "Tak ada kekeliruan yang nyata seperti yang didalilkan pemohon."