Ketua Forum Keluarga Vaksin Palsu Rumah Sakit Sayang Bunda, Bekasi, Teja Yulianto (kanan) memperlihatkan daftar vaksin palsu yang diterima dari pihak rumah sakit dalam diskusi Jalur Hitam Vaksin Palsu di Warung Daun, Cikini, Jakarta, 16 Juli 2016. Tempo/Rezki Alvionitasari.
TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia, Soedjatmiko, meminta rumah sakit dan klinik kesehatan memusnahkan limbah vaksin, termasuk botolnya. Caranya bisa dengan memasukkan kemasan vaksin itu ke kotak limbah.
Soedjatmiko mengatakan botol bekas vaksin harus dimusnahkan sesuai dengan prosedur tiap rumah sakit atau klinik. "Karena vaksin palsu ada antara lain menggunakan kemasan bekas," ujarnya dalam diskusi Polemik Sindotrijaya 104.6 FM "Jalur Hitam Vaksin Palsu" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu, 16 Juli 2016.
Hal yang sama disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Polri, Brigadir Jenderal Agung Setya. Menurut dia, polisi tidak berhenti menegakkan hukum terhadap pemalsuan vaksin ini. "Pencegahan kejahatan ini memerlukan kerja sama para pihak.”
Karena itu, Setya meminta proses pembuatan vaksin palsu dapat diidentifikasi bersama. "Pastikan botol vaksin itu dikelola dengan benar sesuai dengan mekanisme aturan penanganan limbah farmasi," katanya. Hal ini adalah satu langkah untuk memutus upaya pembuatan vaksin palsu.
Menurut pemeriksaan polisi, para tersangka pembuat vaksin palsu dengan mengemas vaksin racikan mereka dengan botol bekas. Botol-botol itu dikumpulkan oleh orang berbeda. Data satuan tugas penanganan vaksin palsu mencatat ada tiga orang yang diduga sebagai pengumpul botol, yaitu Sugiyati, Irna, dan Enday.
Sugiyati diduga mengumpulkan botol vaksin dari Rumah Sakit Hermina di Bekasi dan Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta. Sedangkan Irna adalah perawat dan mengumpulkan botol di tempat ia bekerja, Rumah Sakit Harapan Bunda di Kramat Jati, Jakarta Timur. Enday juga mengambil botol bekas di rumah sakit itu.
Pada Juli 2016, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa vaksin pertama untuk mencegah demam berdarah tersedia untuk masyarakat di seluruh dunia yang berusia 9 sampai 60 tahun. Ini berita baik bagi Indonesia, tempat demam berdarah mempengaruhi lebih dari 120 ribu orang dengan beban biaya US$ 323 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) setiap tahun.