Dosen UGM: Islam di Arab Saudi Itu Miskin Imajinasi
Editor
Zed abidien
Selasa, 21 Juni 2016 09:59 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Achmad Munjid, menyebut, orang yang marah-marah dalam beragama itu miskin imajinasi. Achmad diundang berbicara dalam tadarus kebudayaan bertajuk Maiyah Badar di halaman UPT kampus itu, Senin malam, 20 Juni 2016.
Pengajian kultural ini dilakukan sebagai bagian dari gerakan menolak penyebaran ide-ide khilafah yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia. Selain Achmad, pembicara di pengajian mirip maiyahan Cak Nun itu menghadirkan Rektor Institut Seni Indonesia Agus Burhan, seniman Ong Hari Wahyu, Kurator seni Kuss Indarto, dan Lurah Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Kegiatan dibuka oleh Pembantu Rektor III ISI Yogyakarta, Anusapati. Ada musik gamelan dari komunitas seni Gunungkidul.
Baca: Lukman: Hina Sahabat Rasul Apa Menistakan Agama?
Menurut Achmad, miskin imajinasi dalam beragama mendorong agama ditarik menjadi alat legitimasi politik. Miskin imajinasi bisa ditemukan dalam Islam di Arab Saudi.
Sejumlah kalangan di Saudi Arabia menghancurkan makam-makam tokoh Islam. "Kalau agama ditarik sebagai alat legitimasi politik, orang-orang miskin hanya jadi penonton," tutur Achmad.
Supaya agama tidak ditarik untuk alat legitimasi politik, agama seharusnya berfungsi sebagai kritik sosial. Ini sudah dilakukan misalnya oleh nabi umat muslim, Nabi Muhammad, dan tokoh sentral umat Kristiani, Yesus, yang melakukan pengorbanan. Mereka adalah kritikus dan pembawa pesan moral yang tajam.
Tadarus kebudayaan di bawah sinar bulan purnama itu baru kali pertama digelar setelah aksi menolak HTI di lingkungan kampus ISI. Acara ini akan dilaksanakan rutin setiap bulan untuk menguatkan silaturahmi. Penyelenggara berharap, pengajian bisa menangkal ide-ide khilafah, seperti yang dicita-citakan HTI.
Khilafah bicara soal dakwah, syariah, dan ukhuwah. Ide-ide ini dianggap tak cocok dengan Indonesia yang menghargai keberagaman. Di ISI, ide khilafah dianggap mengancam kreativitas dan kebebasan berekspresi di ruang-ruang akademik.
Baca: Santri Se-Jawa dan Madura Bahas ISIS dan Foto Selfie
Anusapati menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan berpendapat yang dilindungi konstitusi. Hal itu perlu dipertahankan di lingkungan kampus. "ISI adalah kampus yang menekankan kreativitas," ucap Anusapati.
Agus Burhan menyatakan kesenian dan dimensi keagamaan merupakan komponen kebudayaan yang besar. Pendidikan kesenian tidak hanya bergulat soal kreativitas, tapi juga bertanggung jawab secara moral. "Dimensi religi ada pada sisi moral itu," tutur Agus.
Sebelumnya, juru bicara HTI pusat, Muhammad Ismail Yusanto, mengatakan organisasinya tidak menghambat seni di kampus-kampus, di antaranya Institut Seni Indonesia Yogyakarta. "Tapi, seharusnya, seni dikendalikan norma agama," kata Ismail ketika dihubungi, Jumat, 18 Juni 2016.
Ismail berkomentar atas gerakan penolakan HTI masuk kampus ISI Yogyakarta oleh mahasiswa, alumni, dosen, dan masyarakat sekitar kampus itu. Penolakan terjadi karena gerakan yang mengusung khilafah itu masuk ke ruang akademik.
Sejumlah dosen, yang diduga berafiliasi dengan HTI, tidak mau mengajar materi seni rupa yang berhubungan dengan tubuh manusia, misalnya tidak boleh menggambar tubuh manusia. Selain itu, mereka menggelar kajian tentang khilafah di Masjid Al-Mukhtar, ISI.
Ismail membantah HTI bertentangan dengan Pancasila. Khilafah yang dimaksud dalam gerakan itu berisi syariah, ukhuwah, dan dakwah. Menurut dia, HTI merupakan ormas Islam yang bergerak secara terbuka di kampus-kampus.
Di Yogyakarta, HTI juga menyebarkan ide-ide khilafah di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Gadjah Mada.
Ismail meminta ada yang membuktikan HTI bertolak belakang dengan dasar negara Indonesia. "Ini upaya membungkam dakwah Islam dengan topeng bertentangan dengan Pancasila," ujarnya.
SHINTA MAHARANI