Terdakwa kasus suap proyek listrik di Kabupaten Deiyai Dewie Yasin Limpo (tengah) berjalan usai sidang dengan agenda pembacaan tuntutan atas dirinya bersama Staf Ahlinya Bambang Wahyu Hadi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 16 Mei 2016. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Dewie Yasin Limpo, terdakwa suap proyek pembangunan pembangkit listrik di Papua, tak henti membaca ayat-ayat Al-Quran sebelum putusan atasnya dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan suara lirih, Dewie membaca salah satu surat dalam kitabnya. Kadang ia menatap ke depan. Mulutnya bersalawat. "Biasa, saya selalu mengaji untuk khataman," kata Dewie di ruang Kartika 2 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 13 Juni 2016.
Dewie pasrah dengan putusan majelis hakim. Namun Dewie berharap mendapatkan putusan yang adil. "Saya tidak pernah menerima apa pun," ucap Dewie. "Yang terima uang itu kan staf saya."
Dewie berkilah apa yang dilakukannya merupakan bentuk untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Sehingga Dewie tak rela jika disebut telah melakukan korupsi. "Kalau semua yang berjuang untuk rakyat dituduh korupsi, 560 anggota DPR bisa kena semua," ujar Dewie.
Hari ini, Dewie akan menjalani sidang putusan bersama stafnya, Bambang Wahyu Hadi. Keduanya didakwa melanggar Pasal 12-a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dewie dan Bambang didakwa menerima duit Sin$ 177.700 dari Kepala Dinas Kabupaten Deiyai Irenius Adii dan pengusaha Setiyadi Jusuf, melalui Rinelda Bandaso. Duit tersebut diberikan agar Dewie membantu mengupayakan anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 miliar untuk proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua.
Oleh jaksa penuntut umum, Dewie dan Bambang dituntut hukuman penjara 9 tahun dengan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan. Selain itu, jaksa juga menuntut agar hakim mencabut hak politik Dewie untuk memilih dan dipilih sebagai pejabat negara.