TEMPO.CO, Bengkulu - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu menilai tambang batu bara bawah tanah merupakan ancaman lingkungan. Lembaga ini meminta pemerintah berhati-hati jika mengeluarkan izin pertambangan tersebut.
"Kontur dan kepadatan tanah Bengkulu sangat rentan terhadap longsor sehingga perlu diwaspadai jika ada lubang di bawahnya," kata Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Daerah Bengkulu Sony Taurus saat mengunjungi lokasi pertambangan, Minggu, 12 Juni 2016.
Walhi meminta pemerintah mengkaji kembali izin tambang PT Cipta Buana Seraya yang berlokasi di Kecamatan Merigi Kelindang, Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebab, dampak penggalian bawah tanah oleh perusahaan ini baru akan dirasakan beberapa tahun ke depan.
Pada Sabtu, 11 Juni, warga berunjuk rasa menolak keberadaan tambang PT Cipta Buana Seraya. Ini demonstrasi yang keempat setelah sebelumnya tidak ada tindakan dari Bupati dan Gubernur Bengkulu.
Unjuk rasa itu berakhir ricuh. Aparat keamanan menembak warga dengan peluru karet dan gas air mata. Empat orang terluka parah dan satu sepeda motor milik warga setempat dibakar.
Sony Taurus menjelaskan, konflik perusahaan dengan warga menunjukkan ada proses yang salah sejak awal tambang itu beroperasi. "Salah satunya, tidak dilibatkannya masyarakat sejak awal pembuatan izin pertambangan tersebut," ujarnya. Sesuai aturan, kata dia, sosialisasi dan keterlibatan warga itu wajib.
Kepala Teknik Pertambangan PT CBS Danu Ardianto menilai ketakutan masyarakat berlebihan. Sebab, pihaknya telah mengkaji secara keseluruhan berbagai aspek atas penggalian tersebut. "Kita melibatkan orang-orang ahli dalam hal ini, sehingga apa yang ditakutkan masyarakat itu berlebihan," tuturnya saat temu warga dengan Bupati dan Kapolda Bengkulu.
Penggalian, ujar dia, telah melalui perhitungan yang matang sehingga tidak akan membahayakan lingkungan dan masyarakat. "Semua prosedur telah kami jalani, termasuk izin amdal (analisis dampak lingkungan). Jika masyarakat minta untuk menutup galian itu, tidak mungkin," ucapnya.