Aksi pengumpulan tanda tangan dalam aksi Solidaritas Moral untuk Yuyun saat car free day di Makassar, 8 Mei 2016. Tanda tangan ini dikumpulkan sebagai bentuk dukungan terhadap korban kekesaran seksual yang terjadi sejak awal 2016 yang belum terselesaikan. TEMPO/Fahmi Ali
TEMPO.CO, Jakarta – Ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Presiden Joko Widodo mendapatkan respons positif dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Pemberian hukuman berat diharapkan memberikan efek jera kepada pelaku,” ujar Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam siaran persnya, Kamis, 26 Mei 2016. Namun, ucap dia, pemberian hukuman ini harus diiringi upaya penegak hukum dalam membongkar kejahatan-kejahatan seksual.
Haris menilai beberapa kasus kejahatan seksual sulit terungkap karena kurang bukti. Karena itu, LPSK berharap adanya penggunaan teknologi tinggi dalam pengungkapan tindak pidana kejahatan seksual, seperti penggunaan langkah-langkah forensik, baik forensik kimia maupun penggunaan teknologi teleconference bagi korban, di persidangan.
“LPSK sendiri memiliki beberapa pengalaman penggunaan teleconference untuk anak korban kekerasan seksual. Upaya ini dalam rangka memberikan kenyamanan kepada korban sehingga bisa menyampaikan keterangan dengan jelas dan rinci,” tutur Haris.
Selain adanya pemberatan hukuman, LPSK berharap adanya perhatian lebih terhadap hak-hak korban, seperti hak rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Untuk rehabilitasi medis dan psikologis, LPSK berharap peran tersebut bisa diambil dinas kesehatan setempat.
“Karena korban kejahatan seksual dipastikan mendapat trauma medis dan psikologis. Ini yang penting untuk dipulihkan,” kata Haris. Sedangkan hak psikososial adalah hak yang diberikan kepada korban agar korban bisa terus menjalankan peran sosialnya secara wajar. Salah satunya adalah terjaminnya pendidikan anak korban kekerasan seksual.
Untuk itu, LPSK menilai perlu adanya campur tangan dan peran pemerintah daerah melalui dinas pendidikan setempat. “Pemenuhan hak psikososial menjadi penting karena anak korban kejahatan seksual masih memiliki masa depan yang harus dilalui secara normal meski pernah menjadi korban,” ucap Haris.