Todung Mulya Lubis: Pemerintah Harus Akui Peristiwa 1965

Reporter

Editor

Zed abidien

Senin, 18 April 2016 15:57 WIB

Todung Mulya Lubis. ANTARA/Andika Wahyu

TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara dan aktivis hak asasi manusia Todung Mulya Lubis mengatakan pemerintah tak perlu bertanya berapa jumlah dan siapa korban dari peristiwa 1965-1966. Ia menilai, sebagai tanda niat rekonsiliasi, pemerintah harus lebih dulu mengakui adanya pelanggaran HAM berat.

"Menempuh jalan yudisial atau nonyudisial, sejarah akan tetap jadi sejarah. Tak selamanya fakta bisa terus ditutupi," kata Todung di acara Simposium Peristiwa 1965-1966 di Hotel Aryaduta, Senin, 18 April 2016. "Kebenaran harus diungkap, setelah itu baru bisa bicara soal rekonsiliasi, rehabilitasi, atau kompensasi."

Soal jumlah korban, menurut Todung, pemerintah tak bisa berlindung pada ketidakjelasan fakta pembunuhan massal saat itu. Toh, pelbagai lembaga dan pengakuan selalu merilis angka berbeda, mulai ratusan ribu hingga jutaan jiwa. Meski simpang siur, pemerintah tak bisa menampik fakta sejumlah orang hilang, dipenjara, bahkan tak bisa kembali ke Tanah Air akibat pencabutan kewarganegaraan.

"Ini pelanggaran berat ada orang yang tak punya kewarganegaraan," kata Todung. "Korban yang lain mengalami diskriminasi panjang akibat kebijakan kartu identitas penduduk dan kategori eks tahanan politik."

Todung juga mengatakan Indonesia harus mencontoh pemerintah Jerman yang bahkan terus mengakui dan meminta maaf atas kekejaman yang dilakukan Nazi kepada orang-orang Yahudi. Pengakuan terbuka ini bahkan diungkapkan tanpa pernah ada kepastian soal berapa, di mana, dan siapa yang menjadi korban.

Rekonsiliasi dengan dasar pengakuan juga tercipta di Rwanda yang sempat mengalami sejarah kemanusiaan kelam dalam pembantaian antarsuku. Saat ini, sejumlah keluarga pelaku dan korban bahkan sudah dapat hidup bersama sebagai satu keluarga. "Indonesia bisa, asalkan mau," kata Todung.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan dalam pembukaan acara simposium kembali menyatakan keengganan pemerintah meminta maaf atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Alibinya, pemerintah tak memiliki kepastian soal fakta sejarah dan korban pelanggaran HAM dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Pemerintah mengklaim lebih memilih berfokus pada proses rekonsiliasi nonyudisial sebagai penyelesaian. Soal bentuk, pemerintah menunggu hasil kesimpulan simposium. "Proses ini tak mudah, tapi pemerintah sadar masalah HAM masa lalu harus dituntaskan," kata Luhut.

Pemerintah menggandeng masyarakat melalui Forum Silaturahmi Anak Bangsa menggelar simposium yang menghadirkan sejumlah tokoh, saksi, dan keluarga korban Peristiwa 1965-1966. Inti sari simposium bakal jadi bahan perumusan rekomendasi yang bakal diserahkan kepada pemerintah sebelum Mei mendatang.

FRANSISCO ROSARIANS

Berita terkait

Laporan Investigasi: Indonesia Impor Spyware dari Perusahaan Israel

1 jam lalu

Laporan Investigasi: Indonesia Impor Spyware dari Perusahaan Israel

Indonesia dikabarkan tengah mengimpor Indonesia tengah mengimpor sejumlah produk spyware dan pengawasan yang sangat invasif dari Israel.

Baca Selengkapnya

AS Tetapkan 5 Unit Keamanan Israel Lakukan Pelanggaran HAM sebelum Perang Gaza

3 hari lalu

AS Tetapkan 5 Unit Keamanan Israel Lakukan Pelanggaran HAM sebelum Perang Gaza

Deplu Amerika Serikat telah menetapkan 5 unit keamanan Israel melakukan pelanggaran berat HAM sebelum pecah perang di Gaza

Baca Selengkapnya

Apa Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden?

8 hari lalu

Apa Kata Media Asing soal Penetapan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden?

Prabowo-Gibran resmi ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU. Berikut pemberitaan media asing soal penetapan itu.

Baca Selengkapnya

AS Jatuhkan Sanksi kepada Batalion Netzah Yehuda, Apa Tuduhannya?

10 hari lalu

AS Jatuhkan Sanksi kepada Batalion Netzah Yehuda, Apa Tuduhannya?

Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi terhadap batalion Netzah Yehuda Israel atas perlakuan mereka terhadap warga Palestina di Tepi Barat.

Baca Selengkapnya

Pemimpin Partai Buruh Israel Desak Pembubaran Batalion IDF dengan Sejarah Pelanggaran HAM

10 hari lalu

Pemimpin Partai Buruh Israel Desak Pembubaran Batalion IDF dengan Sejarah Pelanggaran HAM

Pemimpin Partai Buruh Israel mengatakan batalion Netzah Yehuda dalam Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membunuh warga Palestina "tanpa alasan yang jelas".

Baca Selengkapnya

AS akan Jatuhkan Sanksi pada Batalion Israel atas Pelanggaran HAM, Netanyahu: Saya Lawan!

11 hari lalu

AS akan Jatuhkan Sanksi pada Batalion Israel atas Pelanggaran HAM, Netanyahu: Saya Lawan!

PM Israel Benjamin Netanyahu akan melawan sanksi apa pun yang menargetkan unit militer Israel atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Baca Selengkapnya

Soroti Tim Anies dan Ganjar, Hotman Paris: Refly Tak Pernah Bersidang, Todung Cuma Konsultan

16 hari lalu

Soroti Tim Anies dan Ganjar, Hotman Paris: Refly Tak Pernah Bersidang, Todung Cuma Konsultan

Hotman Paris mengatakan, pengacara yang tergabung di dalam Tim Pembela Prabowo-Gibran sudah puluhan tahun berperkara.

Baca Selengkapnya

Todung Sebut Pernyataan Sri Mulyani di Sidang MK Semacam Damage Control

17 hari lalu

Todung Sebut Pernyataan Sri Mulyani di Sidang MK Semacam Damage Control

Todung Mulya Lubis, mengatakan tidak happy dengan pernyataan Sri Mulyani Indrawati, dalam sidang sengketa Pilpres pada 5 April lalu.

Baca Selengkapnya

Serahkan Kesimpulan ke MK, Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap 5 Pelanggaran di Pilpres 2024

17 hari lalu

Serahkan Kesimpulan ke MK, Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap 5 Pelanggaran di Pilpres 2024

Tim Hukum Ganjar-Mahfud resmi menyerahkan kesimpulan sidang sengketa hasil Pilpres kepada MK. Apa isinya?

Baca Selengkapnya

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK Pagi Ini

17 hari lalu

Tim Hukum Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK Pagi Ini

Tim Hukum Ganjar-Mahfud akan menyerahkan kesimpulan sidang sengketa hasil Pilpres ke MK pada pukul 10.00 hari ini.

Baca Selengkapnya