Pembongkaran makam yang diduga sebagai makam Tan Malaka, untuk diteliti tulang belulangnya oleh tim forensik dari Universita Indonesia di Desa Selo Panggung, Kediri, Jawa Timur (12/9). Foto ANTARA/Arief Priyono
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Tan Malaka Institute, Ben Tanur, menyesalkan pelarangan pementasan monolog Tan Malaka berjudul Saya Rusa Berbulu Merah di pusat kebudayaan Prancis, IFI, Bandung, Rabu malam kemarin, oleh Front Pembela Islam. Menurut Ben, seharusnya FPI lebih dulu membaca sejarah Tan Malaka.
“Kami sangat menyayangkan. Ini adalah persoalan ketidaktahuan pemahaman sejarah. Mungkin pengetahuan sejarah di sana hanya berasal dari satu versi,” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 24 Maret 2016.
Menurut Ben, dalam konteks gerakan politik, sebenarnya Tan Malaka berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia. Hal itu terlihat dari sikap Ibrahim, nama asli Tan Malaka, menolak pemberontakan yang dilakukan PKI pada 1926-1927.
“Pada periode peristiwa pemberontakan 1948 di Madiun, Tan tidak terlibat. Bahkan dia dimusuhi kelompok PKI. Muso pernah mengatakan ingin menggantung Tan Malaka,” ujarnya.
Ben meminta kelompok ormas yang melarang diskusi soal Tan Malaka membaca kembali sejarah. Menurut dia, tidak sepatutnya diskusi akademik atau pementasan monolog terkait dengan tokoh yang mempunyai andil besar terhadap bangsa Indonesia dilarang.
“Konsep republik itu, setahu saya, berawal dari Tan Malaka. Apalagi dia mendapat gelar sebagai pahlawan kemerdekaan pada 1963 oleh Presiden Sukarno. Dia juga merupakan tokoh yang dilahirkan dari lingkungan Islam tulen. Bahkan dia membela Islam,” katanya.
Rabu kemarin, sekelompok orang yang mengaku dari berbagai organisasi Islam mendatangi pusat kebudayaan Prancis, IFI, Bandung. Mereka meminta aparat kepolisian membatalkan acara pementasan teater tentang Tan Malaka.
"Simpelnya, kami menolak acara yang berbau komunis," tutur Ketua Bidang Hisbah Front Pembela Islam DPD Jawa Barat Dedi Subu di lokasi.