Bagaimana ceritanya sampai memutuskan Tabloid Target edisi Selasa (18/6/96) tidak terbit?
Sebenarnya soal tidak terbit bukan berarti ada apa-apa. Maksudnya, waktu deadline malam Senin (16/6), kami memang memuat laporan utamanya mengenai TEMPO. Tapi kami lebih menyoroti soal MA. Laput kami buat sebanyak enam belas halaman, nah saat deadline, diedit Agung, (Agung Laksono, Red) dan isinya didrop semua dengan alasan tidak sesuai dengan misi SIUPP TARGET, yakni hukum dan kriminalitas.Pertimbangan kami, daripada enam belas halaman hilang semua, maka seluruh redaksi kompak memutuskan tidak terbit. Dan Pak Syahrial (Pemimpin Umum dan Pemred Target, Red) tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Pak Syahrial pun memutuskan tidak terbit, dengan alasan soal teknis. Habis bagaimana lagi? Konyol saja kalau dari tiga puluh dua halaman hampir separuh yang hilang, terus kami paksakan terbit. Dan untuk mengganti laputnya itu mustahil, karena memang sudah nggak mungkin.
Anda katakan isi laput tidak sesuai dengan misi. Apa selama ini, dari enam nomor terbitan, memang sudah banyak isinya tidak sesuai misi?
Misi SIUPP Target memang hukum dan kriminalitas. Tapi menurut kami, batasan hukum dan kriminalitas itu luas. Dalam politik pun banyak unsur kriminalitasnya dan memerlukan investigasi. Pada nomor-nomor yang lalu kami memuat soal Adi Andojo, Joop Ave, PDI dan sebagainya -- itu kan mengandung kriminalitas juga.Kami memang mempunyai semacam batasan bahwa Target berbeda dengan DeTIK, yang bernuansa politik. Dan selalu kami mainkan sisi hukum dan kriminalitasnya. Toh dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya juga banyak yang memuat unsur hukum dan kriminalitas. Itu selalu kami jadikan patokan; hanya saja di sini terjadi mising list. Menurut Agung, kami masih memakai terapan berita seperti DeTIK. Padahal dari enam terbitan itu jelas-jelas aspek hukum dan kriminalitas menonjol. Kita tetap mempertahankan gaya dan semangat kerja seperti di DeTIK, semata karena pembaca tahu dan bisa menerima kami. Pada akhirnya Target itu pengganti DeTIK, tapi bukan berati harus seratus persen sama.
Kabarnya, dalam policy keredaksian, campur tangan yang dilakukan Agung sebagai investor besar sekali, dan tidak terbitnya ini sebagai wujud intervensi yang sudah melampaui batas?
Dikatakan intervensi, ya gimana? Sebagai investor, mungkin ada haknya juga untuk mengontrol kami. Soal intervensi dari Agung, memang kami rasakan dalam editing semua tulisan pada saat deadline. Itu selalu dilakukan di rumahnya. Dan Agung memang banyak memberikan teguran-teguran kepada kami, tapi selalu lewat Pak Syahrial, karena selama ini bila ada apa-apa Agung ngomongnya ke Syahrial.Menurut Agung, nomor-nomor yang kami terbitkan sudah keluar dari jalur SIUPP yang diberikan Deppen. Bukan SIUPP berita umum, tapi SIUPP hukum dan kriminalitas. Kapasitas Agung sekarang yang lebih memberikan warna bisa kami terima, karena di manapun, setiap penerbitan pasti punya ritme yang berhubungan dengan investornya. Tapi kami juga mengklaim bahwa setiap pemberitaan kami sudah memenuhi unsur SIUPP yang diberikan. Kalau toh kami mempunyai semangat, etos dan gaya kerja seperti DeTIK, itu wajar saja, karena hampir separo teman-teman di sini pernah ditanamkan nilai-nilai idealisme seperti halnya di TEMPO. Tapi bukan berarti kami tunduk atau nunut saja, ya kan. Kami punya pendapat bahwa yang namanya sisi idealisme dalam redaksi juga harus kita junjung tinggi, selain tentunya ada juga nilai komersil atau bisnisnya.
Justru dengan intervensi yang Agung lakukan selama ini, membuat komplain dari awak redaksi terus-menerus dan mengakar, tidak hanya pada satu persoalan saja, tapi banyak hal, sehingga sering menimbulkan konflik di dalam.
Soal konflik di DeTIK dulu, kita juga sudah dikenal rawan konflik. Tapi toh akhirnya biasa dan akur lagi. Mungkin maksudnya memang bukan konflik, tapi lebih pada soal bagaimana pelaksanaan yang selama ini dijanjikan dan akan diberikan kepada kami masih terus tarik ulur.
Ada beberapa hal yang dijanjikan Agung dan tidak semuanya berhasil seperti yang dia janjikan. Mulai soal operasional: kami butuh pager, tape recorder, mobil, dan sebagainya, yang merupakan alat vital bagi pelaksanaan tugas kami sebagaimana tertera dalam jadwal yang diminta dan dijanjikan. Nyatanya terhambat dan harus pelan-pelan. Bisa jadi dari Agung-nya memang sudah diberikan, hanya tertambat di pelaksanaannya. Dan itu akan terus diajukan sampai kebutuhan finansial kami benar-benar terpenuhi dengan baik.
Sejak awal, apakah ada komitmen yang dibuat, antara pihak Agung dan Redaksi Target yang eks DeTIK ini?
Secara tertulis memang sampai rapat SWOT di Puncak. Kami rinci membicarakan hal-hal dan komitmen yang harus dipenuhi Agung. Sayangnya, seperti dikatakan tadi, dari segi pelaksanaannya belum maksimal. Bahkan sampai sekarang pun, yang namanya kontrak kerja untuk kami belum ada. Jadi, keputusan rapat di Puncak tidak pernah ada hitam di atas putih; yang ada hanya semacam kesepakatan bersama bahwa Target, sebagai tabloid mingguan, harus independen.Agung pun menyatakan bahwa dia memiliki TARGET bukan atas nama Golkar. Jadi kami tidak perlu berpihak pada satu golongan. Sayangnya, karena nggak ada hitam di atas putih, kami nggak bisa berbuat tegas. Namun bukan berarti kami pasrah. Sekarang sudah dibentuk Dewan Karyawan yang berusaha mengantisipasi langkah-langkah kami sekarang dan ke depan. Hasilnya sudah mulai kelihatan, meski baru sedikit.
Tapi tentunya ada negosiasi sebelum memasukkan teman-teman eks DeTIK ke TARGET. Sejauh mana negosiator itu menjajaki Agung?
Persisnya bagaimana, saya nggak tahu. Sebab, awalnya saya tak pernah terlibat dan tidak pernah tertarik. Tapi ketika dikatakan ini adalah wadah yang tepat bagi kami sebagai mantan awak DeTIk di mana kami butuh media untuk mengaspirasikan nilai idealisme kami (DeTIK) -- dan teman-teman juga banyak mendukung -- maka saya mencoba ikut masuk. Sebab, katanya Agung pun tak keberatan dengan visi yang kami anut selama ini; yang penting kami bisa kontrol (diri). Siapa yang melakukan negosiasi, saya nggak tahu persis. Kalaupun ada beberapa teman yang tidak ikut bergabung ke Target, mungkin karena soal prinsip -- merasa nggak cocok dengan Agung. Tapi langkah selanjutnya, mereka konsekuen dan tetap mendukung kami supaya terus maju dan mempertahankan ini.
Berapa saham yang dimiliki Agung untuk tabloid TARGET ini?
Banyak versi dan saya nggak tahu persis mana yang betul. Ada yang bilang hanya 20%. Ada juga yang bilang Agung punya 55%, sedangkan 25% saham dimiliki Syahrial dan Pak Aziz (keduanya pemodal DeTIK, Red) dan yang 20 % milik karyawan. Namun kami tidak merasa punya sebanyak itu. Sebab, sejak DeTIK dibredel, boro-boro kami punya uang untuk modal. Kondisi kita beda dengan TEMPO. Mereka banyak yang mendadak kaya begitu dapat pesangon keluar dari Tempo. Kalau kami, ya tahu sendirilah; DeTIK umurnya baru berapa sih? TEMPO sudah established, untuk bikin penerbitan lagi ya nggak soal.
Bagaimana dengan idealisme redaksi di TARGET; apakah mengalami pergeseran, sehingga mungkin bisa lebih mudah diarah investor?
Oh, soal idealisme teman-teman bisa diuji. Sebab hampir sebagian awak redaksi pernah mengalami tempaan idealisme itu dan sudah lama ditanamkan. Secara nyata, kami nggak berani berharap Target akan sama seperti DeTIK. Kami pun sadar bahwa kami tak mau mengalami nasib yang sama seperti DeTIK nantinya. Tapi semangat, jiwa dan etos kerja yang ada di DeTIK masih kami miliki dan akan kami pertahankan. Dan mengenai seruan kembali ke misi, mulai terbitan mendatang akan kami coba seperti yang digariskan, yaitu ke hukum dan kriminalitas. Namun, harapan kami Target tetap bisa independen, meskipun sering diklaim masyarakat itu milik Golkar.
Akankah trik mogok terbit ini akan dijadikan senjata bila suatu waktu ada intervensi, atau Agung tidak memenuhi janjinya?
Ya... jangan berandai-andai dulu lah. Yang penting kan tidak terbit kali ini bisa kita katakan sebagai liburan dan untuk intropeksi diri ke dalam. Dalam undang-undang juga tidak diatur secara ketat soal terbit atau tidak. Kecuali dalam penerbitan berturut-turut tidak terbit baru dikenakan sanksi. Insya Allah minggu depan kita terbit kembali.
Atas permintaan siapa: Deppen, pembaca, redaksi, atau pihak investor?
Ya bukan permintaan siapa-siapa; tapi lebih pada soal tanggung jawab moral dan untuk kebaikan bersama. Pembaca juga banyak yang tanya, kenapa tidak terbit? Kami katakan soal teknis, dan terus terang kami merasa rugi juga tidak terbit.
Mengenai panggilan di Deppen?
Saya nggak tahu -- tanya saja ke Agung atau Syahrial.