Suasana penjagaan yang dilakukan Pamdal saat berlangsungnya sidang etik yang menghadirkan Ketua DPR Setya Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 7 Desember 2015. Permintaan Novanto agar sidang berlangsung tertutup didasarkan pada Pasal 132 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashhidiqie mengatakan, sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tertutup ketika menghadirkan Setya Novanto Senin kemarin, membuat orang bertanya-tanya. Sebab, dalam dua sidang sebelumnya, MKD menggelar sidang secara terbuka.
"Mungkin mereka memiliki pertimbangan. Misalnya subyek utama tertutup tapi yang tambahan malah terbuka. Orang jadi malah tanda tanya," kata Jimly di Istana Wakil Presiden, Selasa, 8 Desember 2015.
Jimly mengatakan, pemerintah harus membuat aturan yang jelas mengenai konflik internal menyangkut hubungan antarlembaga terkait dengan kasus perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Aturan itu bisa berbentuk suatu peraturan pemerintah atau setingkat undang-undang.
"Ke depan harus dipikirkan adanya larangan konflik kepentingan. Kedua, perlu ada pengaturan etika profesi dan pejabat serta penyelenggara negara," kata Jimly, di Istana Wakil Presiden, Selasa, 8 Desember 2015. "Jangan dibiarkan masalah etika ini diselesaikan dengan rumit. Sehingga tidak merusak citra institusinya."
Jimly memaklumi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla murka dan menginginkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mundur dari jabatannya. Sebab, apa yang dilakukan Novanto sudah melampaui kepentingan dan wewenang lembaga negara kepresidenan.
Dia menyarankan, agar ke depannya tak terjadi kasus serupa, Presiden harus kompak menata sistem ketatanegaraan yang lebih baik. "Supaya kompak, dan negara tidak pecah."