Massa melakukan aksi damai "Menolak perpanjangan izin Freeport" di depan Gedung KPK, Jakarta, 20 November 2015. Mereka meminta KPK memeriksa Menteri ESDM Sudirman Said terkait penerbitan perpanjangan pemberian izin PT Freeport Indonesia. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Fraksi Partai NasDem Syarif Abdullah Alkadrie mengatakan pemerintah harus benar-benar mengkaji proses renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia. Apalagi, ucap dia, perusahaan tambang itu disebut dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta diminta saham oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto.
Menurut Syarif, pemerintah bisa mempertimbangkan tidak memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia. "Diambil alih negara saja melalui BUMN," ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin. "Negara pasti akan menuai banyak untung."
Syarif menilai keuntungan yang bakal diperoleh dengan memutus kontrak PT Freeport Indonesia itu antara lain banyaknya sumber daya manusia yang terserap dalam mengelola tambang dan bertambahnya nilai pendapatan negara dari hasil tambang. "Harus diambil alih pemerintah," ujarnya.
Namun pemerintah mesti berhati-hati dalam mengambil alih. Menurut dia, kewaspadaan itu berupa peralihan perusahaan tambang. Apa nantinya melalui bursa efek yang membolehkan swasta masuk atau tidak.
Sebelumnya, kasus ini bergulir saat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan Setya ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Sudirman melapor karena Setya mencatut nama Presiden Jokowi dalam usaha renegosiasi kontrak Freeport. Setya dituding menggunakan nama Jokowi untuk memperoleh bagian saham Freeport sebesar 20 persen dan saham proyek listrik Urumuka, Timika, 49 persen.