Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Junimart Girsang (kiri) menerima kedatangan Staf khusus Menteri ESDM Said Didu (kanan) sebelum menyerahkan bukti rekaman percakapan di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 18 November 2015. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia mendesak Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat bergerak cepat mengusut kasus pelanggaran kode etik oleh Ketua DPR Setya Novanto. Apalagi bukti kuat telah diterima, di antaranya transkrip rekaman percakapan Setya dengan petinggi PT Freeport Indonesia.
"Sambil menunggu verifikasi bukti itu, kan MKD bisa mulai menyusun jadwal sidang dan jadwal pemanggilan saksi," kata peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, saat dihubungi, Kamis, 19 November 2015.
Menurut Lucius, MKD mesti belajar dari kasus Setya-Trump dulu. Pengusutan kasus kunjungan Setya dan sejumlah pemimpin DPR dalam kampanye calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terseok gara-gara banyak saksi yang tidak bisa hadir dalam persidangan MKD. Mereka tidak hadir dengan alasan sibuk. Bahkan MKD harus berulang kali menjadwalkan pemanggilan terhadap Setya. "Saksi-saksi untuk kasus ini adalah petinggi perusahaan yang pasti beralasan sibuk. Karena itu, jadwalkan dari sekarang, agar tidak ada dalih," ucap Lucius.
Ia juga mengkhawatirkan, bila MKD tidak bergerak cepat, saksi-saksi dalam kasus Setya dengan PT Freeport Indonesia ini bisa menghilangkan barang bukti.
Pelajaran kedua yang bisa diambil dari kasus Setya-Trump adalah mekanisme bersidang yang harus transparan. Formappi menyarankan segala agenda dan hasil sidang serta proses yang sedang dijalankan MKD dibuka kepada publik. MKD juga diminta bisa lebih tegas dalam bersikap. "Dulu Setya hanya kena sanksi ringan teguran lisan," ujar Lucius. "Kalau sanksinya hanya itu, saya mempertanyakan mekanisme bersidang MKD.”