TEMPO Interaktif, Jakarta:Partai politik (parpol) di Indonesia kerap mengedepankan hal-hal yang bersifat fisik dan materi dalam menjerat massa pendukungnya, ketimbang menggunakan politik akal sehat melalui pengembangan program-program kepartaian. Sehingga seringkali kader parpol mencari sumber dana secara ilegal yang diakumulasikan untuk kepentingan partai. “Ini merupakan cerminan kultur politik Indonesia. Politik yang saat ini berkembang adalah saling adu uang dan adu banyak pendukung massa. Pola berpolitik seperti ini tidak benar karena artinya politik adalah sebuah transaksi dagang,” kata Muhammad Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (9/4). Chatib Basri menjelaskan politik saat ini dilakukan layaknya sebuah investasi, yang mengharapkan selalu mendapat return. “Kalau saya menjadi camat maka harus menyediakan dana Rp 10 miliar. Setelah jadi camat harus dapat return Rp 11 miliar karena Rp 10 miliar-nya harus dikembalikan pada yang memberikannya,” jelas dia. Jika tradisi seperti ini terus dilanjutkan, menurut dia, maka kita akan mencapai tingkat korupsi optimal. Dia menambahkan, saat ini partai politik telah mempraktikkan top habit corruption untuk memperoleh sumber-sumber dana bagi kepentingan politik mereka masing-masing. “Kalau secara yuridis formal praktik ini susah dilihat karena regulasinya bisa dibuat dengan bermacam cara dan dilakukan pembenaran secara hukum, melalui sebuah kebijakan yang disahkan oleh parlemen. Tapi yang diuntungkan kelompok tertentu saja,” paparnya. Chatib Basri mencontohkan praktik ini dilakukan melalui penguasaan sebuah BUMN atau sebuah departemen oleh suatu partai politik. Sehingga, bisa dicarikan justifikasinya, bahwa secara hukum formalnya hal tersebut sah. Pendapat serupa juga dilontarkan Rocky Gerung, pengamat politik dari UI. “Akumulasi dana ilegal itu adalah untuk kekuataan massa politiknya. Ini karena sifat politik tradisional kita, dimana partai tidak bisa beroperasi kalau tidak melakukan akumulasi massa, yang tentu membutuhkan dana besar,” jelasnya. Dia menambahkan sistem politik modern tidak mendasarkan pada besarnya massa pendukung. Sebaliknya, justru kader-kader itulah yang menyumbang ke kas partainya. “Kita belum pernah mengikat konstituen politik karena kesamaan program bahwa orang yakin ikut suatu partai karena membawa pesan politiknya. Yang terjadi adalah partai cuma membuat janji-janji politik saja,” kata Rocky, seraya bersyukur Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini telah membuat batasan bahwa partai tak boleh memberi janji politik kecuali menyampaikan program partai dalam kampanyenya. (Yura Syahrul – Tempo News Room)
Berita terkait
Daftar Juara Piala Thomas setelah Tim Bulu Tangkis Cina Kalahkan Indonesia di Final Edisi 2024
3 menit lalu
Daftar Juara Piala Thomas setelah Tim Bulu Tangkis Cina Kalahkan Indonesia di Final Edisi 2024
Turnamen bulu tangkis beregu putra, Piala Thomas atau Thomas Cup, edisi 2024 sudah usai digelar. Simak daftar juaranya.