Murid SMK mengikuti pelajaran bahasa Inggris dengan pengajar penutur asli di sekolah Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II, Bandung, Jawa Barat, 5 Agustus 2015. Pendidikan ini merupakan paradigma baru dari Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana negara menjamin pendidikan formal dan keterampilan dari jenjang SD sampai SMA termasuk kejar paket A, B, dan C. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Yogyakarta - Gara-gara ditugaskan mengajar mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan, Ariyanto seorang guru di SMA 1 Tayu, Pati, Jawa Tengah, mengadukan kepala sekolah dan Dinas Pendidikan ke lembaga Ombudsman.
Ariyanto protes karena sejak menjadi guru di SMA 1 Tayu pada 2008 ia selalu mengajar mata pelajaran Bahasa Prancis, sesuai dengan kompetensi yang ia miliki. “Saya menuntut hak saya karena hak dasar guru kan mengajar sesuai dengan keahlian,” kata Ariyanto.
Masalah ini bermula pada tahun ajaran baru 2015/2016, sekolah meniadakan mata pelajaran Bahasa Prancis dan diganti dengan mata pelajaran prakarya dan kewirausahaan. Karena sudah terikat kontrak dan harus mengajar, akhirnya ia terpaksa mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya tersebut.
Berdasarkan Undang Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, ia mengadukan sekolah ke Ombudsman. Dalam beleid itu disebutkan bahwa seorang guru harus mengajar sesuai dengan kualifikasi akademik dan standar kompetensi.
Selain sekolah, Ariyanto juga melaporkan Dinas Pendidikan Pati dengan alasan sekolah merupakan kepanjangan tangan dari dinas pendidikan kabupaten dan sebagai kontrol lembaga yang membawai sekolah secara langsung. “Kalau dari surat yang dilayangkan itu terlapornya dinas,”kata Ariyanto. <!--more-->
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah Achmad Zaid mengatakan, pihaknya sudah memanggil kepala sekolah SMA 1 Tayu, Pati, dan dinas pendidikan pada Selasa 10 November 2015. Hasilnya, Ombudsman menyimpulkan terjadi kesalahan dalam asumsi sekolah SMA N 1 Tayu, yang menyatakan bahwa ditiadakannya mata pelajaran Bahasa Prancis karena minimnya minat siswa terhadap pelajaran tersebut. Seharusnya, kata Zaid sekolah menyebar angket kepada siswa terlebih dulu.
Sekolah hanya menyebarkan angket dengan konsentrasi IPA dan IPS, sedangkan pada konsentrasi Bahasa tidak disebarkan angket tentang minat terhadap mata pelajaran. “Angketnya hanya dua yaitu IPA dan IPS, sedangkan Bahasa tidak ada dan itu diakui oleh kepala sekolah,” kata Zaid.
Untuk sementara Ariyanto akan tetap mengajar Prakarya dan Kewirausahaan sampai akhir tahun ajaran. Mata pelajaran Bahasa Prancis menurut Zaid tahun ini belum dihapus, aka tetapi bila minat siswa terhadap mata pelajaran tersebut rendah maka akan dihapus demi kepentingan siswa dan Ariyanto tetap mengajar mata mata pelajaran lain.
Menurt Zaid kasus pelaporan Ariyanto tersebut sudah selesai dengan kesepakatan sekolah akan menyebar angket kepada siswa konsentrasi Bahasa untuk mengukur kebutuhan dan minat siswa atas mata pelajaran Bahasa Prancis. “Sudah selesai di sini,” ucapnya.