Aktivis lingkungan berunjuk rasa di Kantor Bupati Serang, Banten, 12 Oktober 2015. Dalam aksinya mereka mengecam pemerintah terkait pembunuhan Salim Kancil dan meminta peerintah untuk menutup penambangan pasir ilegal di Banten. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Pengaduan adanya ancaman terhadap jurnalis terjadi tepat pada peringatan 40 hari kematian Salim alias Kancil. Ini menyusul intimidasi lewat tantangan dan perusakan kaca jendela yang sebelumnya juga diterima seorang warga Desa Selok Awar-awar karena bersama-sama Salim Kancil menolak tambang di desa itu.
Namun kepolisian setempat menyatakan situasi di Lumajang masih aman. "Tidak ada masalah, aman-aman saja, yang membuat tidak aman, kan, orang-orang (pelaku) itu saja,” kata Kepala Kepolisian Resor Lumajang Ajun Komisaris Besar Fadly Mundzir Ismail.
Berikut ini kronologi ancaman terhadap para jurnalis itu seperti yang dituturkan WS ketika ditemui setelah menjalani pemeriksaan sebagai pelapor di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur pada Sabtu malam lalu.
26 September-4 November: Liputan kasus kematian Salim Kancil dan tambang pasir liar di Lumajang.
3 November: Liputan di sekitar Sungai Mujar, Desa Lempeni, Tempe, Lumajang, tentang keluhan masyarakat setempat karena moratorium penambangan pasir belum berlaku di sana.
4 November: WS mendengar informasi bahwa wilayah tersebut menjadi sasaran sweeping oleh aparat.
5 November: WS menerima pesan pendek yang isinya mengancam dia dan anggota keluarganya. WS tidak langsung merespons hingga menerima telepon rekannya, AR, yang ternyata menerima pesan ancaman yang sama. Keduanya lalu mencari tahu dan mendapati bahwa AA juga menerimanya.
6 November: WS mengadu dan meminta perlindungan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Sedangkan AR dan AA sebagai saksi.