(dari kiri) Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, Anwar Usman, dan I Dewa Gede Palaguna, menggelar sidang panel perdana perdana terhadap Undang-Undang Polri dan Undang-Undang TNI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 5 Februari 2015. Sidang tersebut dengan agenda pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI dan UU No. 34 Tahun 2004 tenttang Tentara Nasuinal Indonesia terkait pengangkatan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Terpidana kasus bilyet giro, Henky Setiabudi, mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 angka 2 dan 4 serta Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian dalam perkara 126/PUU-XIII/2015. Ia meminta hakim Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran pada pasal-pasal tersebut, sehingga polisi dapat terus melanjutkan proses hukum meski pelapor mencabut laporan pidananya.
“Polisi dapat menyidik perkara khusus penggelapan dan penipuan tanpa surat laporan polisi,” ucap kuasa hukum Henky, Wahyudhi Harsowiyoto, dalam sidang, Kamis, 6 November 2015.
Wahyudhi mengatakan Pasal 1 angka 2 dan 4 serta Pasal 5 KUHAP tak memberikan kepastian hukum bagi kliennya karena seolah ada peluang sebuah proses pidana dapat dihentikan jika pelapor mencabut laporannya di kepolisian. Faktanya, Henky tetap diseret ke pengadilan hingga mendapat vonis 1 tahun penjara meski pada tahap penyidikan pelapor, Ariyanto Hadinoto, mencabut berkas LP/553/A/VI/2009/WILTABES di Kepolisian Resor Kota Semarang. Ariyanto melaporkan Henky ke polisi karena memberikan bilyet giro kosong untuk pemberian barang.
Menurut Wahyudhi, Ariyanto dan Henky berdamai dan menutup kasus setelah kliennya membayar uang ganti rugi dan bunga atas penipuan pembelian barang tersebut. Ia mengklaim kepolisian dan kejaksaan seharusnya menggunakan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung yang memasukkan kasus bilyet giro sebagai perkara perdata yang dapat selesai setelah ada pembayaran ganti rugi dan dasar bunga yang tak diperjanjikan sebesar 6 persen setahun.
Wahyudhi menuding para aparat penegak hukum mengabaikan pencabutan permohonan, termasuk hakim praperadilan serta hakim tingkat banding dan kasasi. Hakim praperadilan menolak gugatan Henky dengan alasan kedaluwarsa akibat berkas perkara telah dilimpahkan ke pengadilan. Pengadilan Tinggi Jawa Tengah dan Mahkamah Agung juga justru menguatkan putusan vonis 1 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Semarang.
"Kami sedang mempertimbangkan langkah mengajukan peninjauan kembali," ujarnya.
Ketua panelis hakim Mahkamah Konstitusi, I Dewa Gede Palguna, menuturkan permohonan Henky justru menimbulkan situasi tanpa hukum yang berpotensi menyebabkan kesewenangan para penyidik. Ia juga menilai permohonan kurang kuat karena tak mampu menunjukkan pertentangan konkret antara pasal yang diuji dan isi Undang-Undang Dasar 1945.
"Lagi pula, penggelapan itu bukan delik aduan," kata Palguna. "Perdamaian dan ganti rugi antara pelapor dan terlapor tak menghentikan proses hukum. Itu hanya akan jadi pertimbangan hakim dalam menentukan vonis."