TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satrya Langkun, menilai dokter swasta atau yang bukan pegawai negeri sipil tak bisa seenaknya menerima duit dari perusahaan obat. Apalagi jika tujuannya agar dokter itu meresepkan obat dari perusahaan obat yang memberinya duit atau barang.
Tama menjelaskan, sebelum dokter melaksanakan tugas melayani pasien atau praktek, terlebih dahulu dokter harus mendapat izin dokter serta surat tanda registrasi. Surat ini diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia, yaitu lembaga pemerintah yang berhak mengeluarkan STR.
"Dokter dapat melaksanakan tugas melayani masyarakat setelah mendapat otoritas dari lembaga negara, dokter jadi termasuk dalam bagian gratifikasi yang diatur di dalam UU Pemberantasan Korupsi," ujar Tama.
Sehingga dengan konteks tersebut, Tama berpandangan bahwa dokter yang menerima uang dari perusahaan farmasi terkait dengan peresepan obat, harus melaporkannya ke KPK. Jika dalam waktu 30 hari kerja sejak menerima uang itu tidak melapor ke KPK, maka dapat dikategorikan suap.
Tama mengakui, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi hanya mengatur soal gratifikasi dan suap terhadap pegawai negeri sipil. Kondisi ini berbeda dibandingkan sejumlah negara lain. Tapi, Tama menilai pemberian duit atau barang dari perusahaan obat kepada para dokter tak bisa dikategorikan sebagai jual-beli belaka.
Catatan: Berita ini sudah dikoreksi dari berita sebelumnya berjudul "Gratifikasi Perusahaan Farmasi-Dokter, ICW: Itu Bukan Suap". Berita koreksi secara utuh bisa dibaca di sini.