TEMPO.CO, Makassar - Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat Inspektur Jenderal Pudji Hartanto Iskandar menyatakan aksi begal di Makassar didominasi anak di bawah umur. Berdasarkan laporan anak buahnya, hampir 70 persen tersangka begal merupakan remaja.
"Hampir 70 persen anak di bawah umur. Mereka itu sebenarnya aset bangsa. Sayangnya, masih kecil tapi sudah residivis alias keluar-masuk penjara," kata Pudji, saat ekspose pengungkapan kasus begal di Makassar, di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, Jumat, 18 September 2015.
Berdasarkan data kepolisian, tercatat 33 kasus begal alias pencurian dengan kekerasan yang terjadi di Kota Daeng dalam dua pekan terakhir. Sebanyak 20 kasus berhasil diungkap dengan jumlah tersangka mencapai 29 orang. Pembegalan paling banyak terjadi di daerah Rappocini yakni enam kasus, di mana tiga kasus di antaranya terungkap dengan empat tersangka.
Selain di daerah Rappocini, aksi begal juga marak di daerah Panakkukang. Tercatat empat kali pembegalan, di mana dua kasus di antaranya diungkap dengan dua tersangka. Adapun, daerah lain yang cukup rawan yakni Bontoala, Makassar, dan Tamalanrea. Sisanya, seperti daerah Tallo dan Biringkanaya, masing-masing hanya terjadi satu kasus pembegalan.
Pudji mengatakan aksi begal yang dilakukan anak di bawah umur mesti tetap diproses hukum. Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak tidak menjadi hambatan untuk menegakkan hukum. Hakim di pengadilan, menurutnya, bisa mempertimbangkan untuk menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku begal yang meresahkan kendati masih di bawah umur.
Kepala Polrestabes Makassar Komisaris Besar Fery Abraham mengakui banyak pelaku begal yang masih anak di bawah umur. Hal itu menjadi salah satu alasan ringannya vonis pengadilan terhadap kejahatan yang meresahkan itu. "Kami mengharapkan agar kejaksaan dan pengadilan dapat memberikan hukuman maksimal agar ada efek jera bagi para pelaku," ujarnya.
Lebih jauh, Fery mengatakan faktor yang melatarbelakangi aksi begal sangat beragam. Di antaranya, kebutuhan ekonomi yang mendesak sampai di bawah pengaruh narkotika dan minuman keras. Kebanyakan para pelaku juga merupakan anak putus sekolah dan pengangguran. "Tapi, kebanyakan ya faktor ekonomi," ucapnya.