Acara Pisowanan Ageng (Silaturahmi Besar) ditampilkan untuk menyambut logo baru Daerah Istimewa Yogyakarta di Komplek Pagelaran Keraton Yogyakarta, 7 Maret 2015. Sebanyak 3.000 peserta turut meramaikan acara yang berisi pawai budaya, makan bersama, dan orasi raja keraton itu. TEMPO/Pribadi Wicaksono
TEMPO.CO,Yogyakarta - Pengukuhan Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI pada Ahad, 12 Juli 2015, oleh Paguyuban Trah Ki Ageng Giring-Ki Ageng Pemanahan tidak diakui kelompok masyarakat sipil di Yogyakarta.
Ketua Dewan Penasihat Paguyuban Dukuh Se-Kabupaten Gunungkidul Sutiyono menyatakan kalangan masyarakat hanya akan mengakui raja baru yang dinobatkan sesuai dengan prosedur yang dianut Keraton Yogyakarta.
“Kami jamin, efek penobatan abal-abal semacam ini tak akan meluas ke daerah. Kami masih mengakui raja yang bertakhta HB X, meskipun tak setuju dengan sabda raja,” ujar Sutiyono kepada Tempo, Senin, 13 Juli 2015.
Dihubungi terpisah, komandan organisasi sayap sipil Keraton, Paguyuban Seksi Keamanan Keraton (Paksi Katon) Muhammad Suhud mengklaim telah meminta klarifikasi dari Prabukusumo ihwal penobatan itu.
“Gusti Prabukusumo tidak tahu soal itu. Kami menduga ini hanya ulang pencari momentum obok-obok,” ujar Suhud. Suhud, yang selama ini mengawal segala aktivitas Keraton, juga mengatakan tidak pernah mengetahui orang-orang yang melakukan penobatan ini. “Sepertinya orang baru,” ujarnya.
Menurut informasi yang dia terima, penobatan itu sarat dengan politik kepentingan yang tujuannya memecah-belah Keraton agar konflik semakin panas. “Bisa jadi ujungnya muncul trah yang tak berhak agar bisa masuk bursa raja baru. Trah Hamengku Buwono IX kan sangat banyak, ada 15-an orang” ujarnya.
Paksi Katon sendiri belum akan bergerak untuk menyikapi hal ini. Namun jika persoalan ini meluas dan memancing dampak buruk, pihaknya akan bergerak sesuai dengan instruksi Keraton.