Fuad Amin Imron, Ketua DPRD Bangkalan. facebook.com
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus dugaan suap jual-beli gas alam di Bangkalan, Jawa Timur, Fuad Amin Imron, melalui penasihat hukumnya, Bakhtiar Pradinata, menyatakan keberatan penggunaan Pasal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam perkara yang melilitnya.
Penggunaan pasal undang-undang TPPU tertera dalam dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dibacakan dalam persidangan pekan lalu.
"Kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap dugaan TPPU sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 adalah penyidik Polri dan atau kejaksaan," kata Bakhtiar saat membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 13 Mei 2015.
Dia beralasan hal tersebut sesuai Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang TPPU.
Menurut Bakhtiar, dalam dakwaan ketiga, jaksa penuntut umum KPK menuduh Fuad Amin membuka rekening atas nama dan atau identitas orang lain. KPK juga mendakwa Fuad Amin membeli polis asuransi, kendaraan bermotor, tanah, dan bangunan.
Bakhtiar menjelaskan, dakwaan tersebut tidak dapat diterima, karena perbuatan Fuad Amin dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU. "Jaksa penuntut umum tidak dapat menuntut terdakwa dengan pasal undang-undang TPPU,” ujarnya.
Fuad Amin Imron yang merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan itu didakwa menerima suap Rp 18,5 miliar terkait dengan pemberian rekomendasi jual-beli gas alam di Gresik dan Bangkalan.
Fuad Amin Imron menerima suap sejak menjabat sebagai Bupati Bangkalan periode 2003-2008 dan 2008-2013. Politikus Gerindra itu juga didakwa mencuci duit hasil korupsi senilai Rp 229,45 miliar.