TEMPO.CO , Yogyakarta:Pemerintah diminta mencabut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Implementasi undang-undang tersebut dinilai hanya menjerat orang-orang kecil seperti nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur.
“UU Nomor 18 Tahun 2013 cuma jadi senjata untuk orang-orang kecil,” kata dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Teguh Yuwono, kepada Tempo, Senin 27 April 2015.
Padahal, kata Teguh, terbitnya undang-undang itu berangkat dari semangat ingin menjerat kejahatan korporasi yang melakukan penebangan kayu hutan secara ilegal (ilegal logging). Teguh mencatat, sudah dua kali undang-undang tersebut dipakai untuk menjerat orang-orang kecil.
"Sebaliknya, konglomerasi yang diduga kuat terlibat kasus penjarahan hutan justru masih berkeliaran bebas."
Pelaksanaan UU Nomor 18/2013 itu, Teguh menjelaskan, belum dipenuhi sepenuhnya oleh pegawai Perhutani di tingkat bawah. Dalam kasus nenek Asyani, dia mencontohkan, seharusnya cukup diselesaikan secara mediasi yang melibatkan kepala desa setempat.
Teguh khawatir, bila undang-undang itu terus dipakai, bisa menjerat warga yang tinggal di sekitar hutan. Padahal, idealnya, hutan harus bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Perhutani sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa, kata Teguh, seharusnya memberikan akses kepada masyarakat agar bisa ikut mengelola hutan.
Menurut Teguh, sebenarnya ada opsi lain yang bisa dilakukan pemerintah yakni dengan merevisi UU No 41/1999 tentang Kehutanan dan memperkuat peraturan pemerintahnya. “UU 18/2013 memang dipaksakan,” kata dosen Kebijakan Hutan ini.
Majelis hakim menghukum Asyani dengan percobaan 15 bulan karena dianggap bersalah memiliki 38 papan kayu jati dari kawasan hutan tanpa dilengkapi dokumen. Sejatinya, majelis hakim memvonis Asyani dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari penjara.
Warga Desa/Kecamatan Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur itu dianggap melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Vonis diberikan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Situbondo pada Kamis 23 April 2015 lalu.