Seorang warga mendaftar untuk berobat dengan sistem BPJS di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta (2/1). TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Palembang - Sejumlah pihak menilai pemerintah lamban dalam menaikkan besaran angka iuran peserta BPJS Kesehatan untuk rakyat miskin. Sikap tersebut diyakini dapat memperburuk sistem keuangan dan layanan dari badan yang dulunya bernama Askes. Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan kenaikan tersebut sangat relevan dengan amanat Undang-Undang Kesehatan serta janji politik Presiden Joko Widodo.
"ini merupakan bentuk ketidakseriusan pemerintah Jokowi terhadap masalah kesehatan," kata Timboel, Ahad, 26 April 2015. Sebelumnya, di hadapan peserta workshop sosialisasi sistem Jaminan Sosial Nasional untuk jurnalis di Sumatera Selatan, ia menjelaskan dengan APBN di atas Rp 2000 triliun, sebenarnya pemerintah bisa menaikkan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi Rp 27.500 dari Rp 19.225 saat ini.
"Kenaikan PBI sehingga bisa membantu BPJS membayar klaim ke RS atau puskesmas dan klinik," ujar Timboel. Menurut dia, pemerintah harus obyektif melihat iuran PBI saat ini. Kenaikan menjadi Rp 27.500 merupakan rekomendasi DJSN, TNP2K, Kemenkes, dan Kemensos. Angka tersebut sudah dikaji secara mendalam agar BPJS Kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan. "Jumlah peserta PBI juga harus ditingkatkan hingga 120 juta orang."
Chazali Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), membenarkan pihaknya telah mendesak pemerintah menaikkan nilai iuran yang harus ditanggung negara. Dalam hitung-hitungan DJSN, angka Rp 27.500 dinilai paling objektif dan relevan dengan situasi ekonomi sekarang ini. "Kami masih menunggu keputusan Menteri Keuangan," kata Chazali.
Ketika ditemui di forum yang juga melibatkan Aliansi Jurnalis Independen, Freidrich Ebert Stiftung dan DJSN, Chazali menjelaskan usul kenaikkan turut memperhatikan tingkat inflasi, keekonomian produk, fasilitas dan utilitas. Ia optimistis kenaikan dapat meningkatkan mutu layanan serta cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan. "Diharapkan rasio penerimaan dan pengeluaran dapat dikontrol," ujar Chazali.
Sementara itu Arfi Bambani, Sekretaris Jenderal Aji Indonesia, menjelaskan setiap pihak termasuk media massa wajib mengontrol pelayanan BPJS Kesehatan. Ia meyakini temuan yang disampaikan oleh media massa dapat ditindaklanjuti oleh penyelenggara layanan. "Media jangan tutup mata atas setiap temuan, baik buruk harus disampaikan."