TEMPO Interaktif, Solo:Pakoe Boewono (PB) XIII Tedjowulan beserta seribuan pengikutnya mendatangi dan menduduki keraton secara paksa, Senin (29/8). Hanya saja, mereka tidak masuk ke dalam kompleks utama keraton yang menjadi tempat tinggal PB XIII Hangabehi, karena tiga pintu gerbang utama digembok dari dalam. Tedjowulan bersama pendukungnya tertahan di Kori Kamandungan (teras keraton). Kedatangannya tersebut merupakan tindak lanjut dari penyelesaian konflik Keraton Surakarta yang sampai saat ini belum ada titik temunya. Tedjowulan datang dengan berjalan kaki dari Masjid Agung Keraton Surakarta yang berjarak sekitar satu kilometer. Para pendukungnya berjalan mengikuti dari belakang. Diantara mereka tampak, GPH Suryo Wicaksono (putra PB XII), KPH Padmokusumo (keturunan PB X) serta pangeran sepuh lainnya yang selama menjadi pendukung Tedjowulan. Begitu sampai, di depan keraton massa langsung menerjang pagar besi yang membatasi serambi Kori Kamandungan sehingga roboh berantakan. Tedjowulan dan para pendukungnya berusaha masuk lewat pintu gerbang, namun upaya itu gagal karena tiga pintu utama itu langsung ditutup rapat dan digembok dari dalam. "Saya kesini untuk menemui Kang Mas Hangabehi membahas penyelesaian keraton, beliau kakak kandung saya sendiri karena itu kami mohon kesediaannya untuk keluar,"katanya di hadapan pendukungnya. Karena tidak bisa masuk, PB XIII Tedjowulan langsung menyatakan tekadnya akan menduduki keraton sampai PB XIII Hangabehi keluar menemui dirinya. Massa semakin bertambah dengan kedatangan warga Kampung Baluwarti dan masyarakat lainnya yang menyaksikan kejadian itu. Sebelumnya, ratusan warga kampung Baluwarti juga menggelar aksi unjuk rasa mendesak kedua raja segera bertemu menyelesaikan kemelut keraton.Tedjowulan kemudian berpidato di hadapan pendukungnya dan masyarakat umum yang menyaksikan. Ia menceritakan bagaimana awal mulanya kemelut di keraton dan tidak adanya putra mahkota yang ditunjuk oleh almarhum PB XII untuk menggantikannya. "Karena itulah, sehari setelah ayahanda wafat, saya yang mengusulkan Mas Behi yang jadi raja. Tapi saat itu ndak ada yang setuju. Akhirnya disepakati menunggu sampai 40 hari meninggalnya Sinuhun, tapi kenapa tiba-tiba sudah ada yang menobatkan Mas Behi. Ini kan menyalahi kesepakatan,"ujarnya seraya menambahkan semua putra almarhum PB XII berhak jadi raja karena sinuhun tidak menunjuk putra mahkota. Menurut Tedjo, kehadirannya untuk menemui Hangabehi secara langsung tanpa perantara siapapun. "Karena kemelut ini bisa diselesaikan jika saya dan Mas Behi bertemu secara langsung tanpa dicampuri yang lain. Hal itu cocok dengan amanah almarhum PB XII,"katanya. Saat itu almarhum, menurut Tedjo, berpesan jika Mas Behi yang jadi Raja, Tedjo diminta mencari dukungan dari seluruh adik-adiknya. "Dan saya diminta mendampingi, sebaliknya jika saya yang dipilih maka saya harus bilang ke kakak-kakak saya,"katanya. Menurut Tedjowulan, selama satu tahun tidak pernah ada tanggapan dari kubu Hangabehi untuk menyelesaikan konflik ini. "Semua yang kami lakukan untuk menyelesaikannya tidak pernah mendapatkan tanggapan dari pihak Hangabehi. Untuk itu langkah terakhir yang ditempuhnya adalah dengan mendatangi secara langsung PB XIII Hangabehi di keraton Surakarta. Langkah kali ini juga berdasar desakan dari masyarakat dan kerabat keraton lainnya,"ujarnya. Anas Syahirul
Terjadi sejak 2004, Begini Awal Sejarah Konflik Keraton Surakarta
27 Desember 2022
Terjadi sejak 2004, Begini Awal Sejarah Konflik Keraton Surakarta
Sejarah awal konflik internal Keraton Surakarta akibat perebutan tahta raja antara Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan sepeninggal Raja Paku Buwono XII pada 12 Juni 2004.