Sejumlah keluarga Sunni yang mengungsi dari desa Albu Ajil dan Al-Dor karean pertempuran Negara Islam (ISIS) dan tentara Irak di Tikrit, 8 Maret 2015. AHMAD AL-RUBAYE/AFP/Getty Images
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia, Andi Hamzah, menyatakan 16 warga negara Indonesia yang tertangkap di perbatasan Turki-Suriah terancam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Enam belas WNI itu terancam pidana penjara jika terbukti bermaksud gabung atau jadi simpatisan kelompok terorisme Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
"Kalau sampai pulang ke Indonesia, bisa langsung kena pidana," ujar Andi saat dihubungi, Kamis, 13 Maret 2015.
Menurut dia, pemerintah harus tegas dan jeli memeriksa motivasi setiap WNI yang dikabarkan menghilang dari perjalanan tur di Turki itu. Pemeriksaan menjadi bagian dari keseriusan pemerintah untuk tak membiarkan adanya benih radikalisme di dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, menurut Andi, status teroris juga disematkan pada WNI yang baru bermaksud melakukan tindakan teror di dalam atau luar negeri. Ketentuan ini akan menjerat mereka jika terbukti hendak menyeberang ke Suriah dan bergabung ISIS.
Menurut Andi, KUHP memang tak mengatur dan mengancam orang yang masih bermaksud atau belum melaksanakan pidana terorisme. Dalam KUHP, hanya ada pengaturan tentang ancaman pidana terhadap orang yang bermaksud memalsukan uang dan meterai.
"Karena UU Terorisme, warga yang baru ikut pelatihan militer di Aceh atau Poso sudah kena pidana walau belum melakukan teror," ucapnya.
Pidana terhadap orang yang bermaksud melakukan teror diatur secara khusus dalam Pasal 7 dengan ancaman hukuman penjara maksimal seumur hidup. Sedangkan pelaku teror dalam Pasal 6 terancam hukuman mati.