Warga memburu batu akik dari Sungai Klawing, Purbalingga, Jateng, 18 Februari 2015. Harga batu akik sangat bervariasi, mulai Rp 100 ribu hingga ratusan juta rupiah, tergantung dari motifnya. Tempo/Aris Andrianto
TEMPO.CO, Bengkulu - Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi mengatakan aktivitas penggalian batu akik mengakibatkan rusaknya hutan dan lingkungan di wilayah itu. Pemerintah daerah pun terdorong untuk merancang regulasi untuk menyelamatkan kelestarian hutan. "Dinas Energi Sumberdaya Mineral telah menggodok rancangan perda, baik berisi aturan, pajak, pengelolaan lingkungan hidup dan lainnya," kata Imron, Senin, 23 Februari 2014.
Ia mengatakan tidak kurang dari 150 ton batu akik dihasilkan dari Kabupaten Bengkulu Utara. Akibat belum adanya aturan, para penggali seenaknya saja meninggalkan bekas galiannya dan merusak hutan. "Banyak juga warga luar daerah datang untuk mencari batu-batu mulia itu," ujarnya.
Peraturan daerah itu, kata dia, mengatur agar lingkungan hidup tidak rusak, sementara ekonomi rakyat tetap berjalan. Di lain pihak, pemerintah daerah juga mendapatkan keuntungan berupa pajak dari penjualan batu akik tersebut.
Seorang penggali batu akik dadakan, Akhirin, 45 tahun, mengatakan demam batu mulia ini telah membuatnya beralih profesi. Awalnya ia hanya iseng. Namun setelah melihat keuntungan yang didapatnya cukup lumayan, maka ia meneruskan bisnis ini. "Lumayan untungnya, apalagi jika kita dapat bahan langsung menggali sendiri," kata Akhirin.
Ia mengatakan pernah mendapatkan batu yang berkelas, seperti ungu lavender atau Red Rafflesia kualitas terbaik. "Batu itu saya jual dengan harga tinggi mencapai Rp 2 juta per kilo," ujar Akirin.
Dia menyambut baik rencana pemerintah membuat perda. Hanya saja ia berharap izin penggalian tidak hanya diberikan pada pengusaha besar. "Kami takutnya perda hanya untuk pengurangi aktivitas kita menggali dan memberi izin pada pengusaha yang lebih bermodal."