Padi Ambok yang telah dipanen di area persawahan Malekeri, Desa Palangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 3 Agustus 2014. Padi Ambok merupakan varietas unggulan Toraja Utara yang memiliki harga jual di pasaran sebesar Rp18 ribu per kilogram. TEMPO/Iqbal Lubis
TEMPO.CO, Karanganyar - Aktivis Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) Karanganyar, Jawa Tengah, Bambang Tri Purnomo, mengenalkan teknik penanaman padi baru yang diberi nama mulsa alias kemul sawah atau menyelimuti sawah.
Teknik mulsa dilakukan dengan menutupi lahan sawah menggunakan plastik yang dilubangi untuk menanam padi. Bambang mengatakan teknik mulsa biasa dipakai untuk tanaman hortikultura. “Dan saya ingin mencobanya untuk padi,” katanya, Senin, 24 November 2014.
Lahan uji coba terdapat di Desa Blorong, Kecamatan Jumantono, Karanganyar, dengan luas 1.000 meter persegi. Awalnya, lahan persawahan dibagi menjadi beberapa blok memanjang. Jarak antarblok sekitar 40 sentimeter.
Plastik sepanjang 500 sentimeter dan lebar 120 sentimeter dipakai menutupi lahan. Lalu, dengan alat khusus, dibuat lubang dengan jarak antarlubang sekitar 20 sentimeter. Di tiap lubang diberi dua benih. Benih yang dipakai adalah padi varietas Cipto Roso. Mulai ditanam pada 22 Juli, padi dipanen pada 1 November 2014. “Hasilnya sangat baik. Jika dikonversi ke hektare bisa mendapat 11 ton per hektare. Padahal dengan teknik konvensional biasanya hanya mendapat 6-7 ton per hektare,” ucapnya.
Menurut dia, ada beberapa keuntungan dengan teknik mulsa, yaitu hemat pupuk karena hampir tidak ada penguapan. Dia mengatakan, jika pupuk ditabur pada tanaman padi, biasanya 60-70 persen menguap.
Selain itu, hemat air karena tidak ada penguapan dan hemat biaya operasional karena tidak perlu menyiangi rumput. “Rumput tidak bisa tumbuh karena terhalang plastik,” katanya.
Ia mengakui di awal memang butuh biaya cukup mahal untuk membeli plastik. Untuk lahan 1.000 meter persegi, dia menghabiskan biaya sekitar Rp 600 ribu. Namun plastik tersebut bisa dipakai hingga 15 kali penanaman. “Karena selalu terendam air sehingga plastik lebih awet. Plastik juga tidak dipakai hingga panen, cukup selama 36 hari,” ujarnya.
Adapun pakar pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, Suntoro Wongso Atmojo, menilai cara mulsa memang bisa diterapkan. Hanya, perlu dihitung biaya membeli plastik dan efektivitas penggunaan plastik.
Dia mengatakan teknik yang dinamakan SRI (system rice intensification) itu sudah dijalankan di Ngawi sejak 2002. Hasil panen mencapai 7-7,5 ton per hektare.