Sejarawan: Diponegoro Ratu Adil yang Tak Sempurna
Editor
Sunu Dyantoro
Jumat, 14 November 2014 05:55 WIB
TEMPO.CO, Magelang- Sejarawan Inggris Peter B.R.Carey menyatakan tokoh besar dalam sejarah Jawa, Pangeran Diponegoro muncul di tempat tak terduga. Ia terpanggil menjadi ratu adil ketika menyaksikan Jawa yang semakin kehilangan harga diri pada masa pendudukan kolonial. "Diponegoro tidak ditakdirkan menjadi ratu adil, melainkan zaman yang memaksanya," kata Peter Carey dalam seminar berjudul Kekuasaan, Ratu Adil dan Milinarisme di Hotel Manohara Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Kamis, 13 November 2014.
Peter Carey berbicara dalam rangkaian acara Borobudur Writers and Cultural Festival berjudul Ratu Adil Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara, 12-15 November 2014 di Yogyakarta dan Magelang. Dia menjadi pembicara bersama dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Setyo Wibowo, Dosen Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanudirjo, dan dosen Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, Sri Margana. (Baca: Film Senyap Diputar di Borobudur Writers Festival)
Peter Cerey menjelaskan Diponegoro muncul dari orang yang tidak terkemuka. Ia melewati serangkaian perjalanan hidup hingga menjadi tokoh penting dalam sejarah Indonesia. Diponegoro muncul di tempat tak terduga karena ia sehari-hari bergaul dengan petani, datang ke gubuk sawah di Tegalrejo.
Diponegoro berperan menjadikan Tegalrejo sebagai lumbung desa, yang mampu mengirim beras ke Bima, Nusa Tenggara Barat. "Diponegoro bukan seorang Jawa yang terkurung. Tapi ia membuka ladang," kata dia. Ia juga mendatangi pesantren-pesantren di sekitar Yogyakarta pada umur 20 tahun.
<!--more-->
Diponegoro menghabiskan masa bocahnya hingga remaja di ndalem Tegalrejo, Yogyakarta atau tempat tinggal Ratu Ageng, isteri Sultan Hamengku Buwono I, yang merupakan buyut Diponegoro. Tempat ini sekarang menjadi monumen Pangeran Diponegoro. Peter Carey menyebut cara Ratu Ageng mengasuh Diponegoro sebagai cara mendidik yang luhur di kebudayaan Jawa.
Diponegoro kecil yang memiliki nama Raden Antawirya diasuh Ratu Ageng, sosok yang agamis dan menggemari kesenian. Ratu Ageng juga dikenal sebagai pengusaha dermawan yang dekat dengan rakyat kecil.
Peter Carey tak hanya memuji Diponegoro. Ia pun menjelaskan Diponegoro bukan orang sempurna. Peter merujuk pada Babad Diponegoro, catatan harian yang dibuat Diponegoro saat berada di pengasingan di Menado, Makasar. Di tempat itu, Diponegoro sulit bertetangga. Ia datang ke Manado hanya dengan 32 pengikut. "Diponegoro punya kelemahan dan tidak hipokrit," kata Peter.
Peter B.R. Carey merupakan sejarawan yang seumur hidupnya menghabiskan waktunya untuk meneliti kekuasaan Jawa. Dia meneliti tokoh besar dalam sejarah Jawa yaitu Pangeran Diporegoro. Ia penulis buku berjudul Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
<!--more-->
Buku itu mengisahkan penghancuran tatanan lama Jawa (1808-1830) oleh pemerintah kolonial gubermen Hindia Belanda. Lalu terjadi Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro.
Perang berakhir dengan kekalahan dan pengasingan Diponegoro. Pasca-perang itulah lahir zaman baru di nusantara, yakni zaman kolonial, yang berlangsung hingga pendudukan militer Jepang (1942-1945). Buku ini juga menarasikan biografi utuh tentang kehidupan Pangeran Diponegoro yang menggunakan sumber Belanda dan Jawa.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Setyo Wibowo menyatakan ratu adil merupakan harapan terhadap penguasa yang bekerja demi kebaikan bersama. Ratu adil bisa datang dari mana pun dan dari siapa pun. Ini semacam kelahiran kembali pemimpin bukan karena uang atau kehormatan. "Idealisme ratu adil dekat dengan rakyat," kata dia.
SHINTA MAHARANI
Baca berita lainnya:
Jusuf Kalla: Ah, FPI Selalu Begitu, Simbol Saja
Jusuf Kalla: Kenaikan Harga BBM Akan Ditunda
Kuasa Hukum: Mana Buktinya FPI Rasis...
Aset Udar Pristono Tersebar di Jakarta dan Bogor