TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Majelis Partai Persatuan Pembangunan Ahmad Yani menilai Muktamar VIII PPP kubu Suryadharma Ali tak berbeda jauh dengan muktamar partai Ka'bah yang digelar kubu Romahurmuziy di Surabaya. Alasannya, penetapan ketua umum partai itu sama-sama dilakukan dengan cara aklamasi. (Baca: Pimpin PPP, Djan Faridz Ogah Jadi Pejabat Publik)
"Bahkan muktamar di Jakarta ini lebih buruk, aklamasi secara sepihak meski sebelumnya ditetapkan ada lebih dari satu calon ketua umum," kata Ahmad sembari meninggalkan ruangan muktamar di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Sabtu, 1 November 2014. "Ini jelas mencederai demokrasi dalam partai." (Baca: Djan Faridz Ketua Umum PPP)
Pembuat muktamar, kata dia, mengebiri seluruh suara dewan pimpinan cabang (DPC) dan memaksa pengurus memilih Djan sebagai ketua umum. "DPC tidak diberikan kesempatan ngomong, saya tidak mengerti kenapa ini terjadi, dan hanya dilakukan pemilihan secara regional" ujarnya. "Ini merupakan skenario yang sudah direncanakan, sama sepert kubu Romahurmuziy. Artinya, saat ini PPP sudah tidak demokratis dan sama-sama buruk." (Baca: Konflik PPP, Haji Lulung: Romi Itu Bodoh)
Hasil Muktamar VIII PPP kubu Suryadharma Ali yang diselenggarakan di Hotel Grand Sahid, Jakarta, pada 30 Oktober-2 November 2014, menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum. Penunjukan Djan sebagai ketua umum menimbulkan protes. (Baca: Ahmad Yani Kecewa Dijegal Jadi Ketua Umum PPP)
Musababnya, Suryadharma Ali sebelumnya mengatakan ada dua calon ketua umum yang kuat, yaitu Djan Faridz dan Ahmad Yani. Namun, dalam pengesahan dan penetapan, tidak ada nama Ahmad Yani. (Baca: Bachtiar Chamsyah Tak Akui PPP Kubu Romi)
Penetapan secara sepihak Djan Faridz sebagai ketua umum sempat membuat ricuh suasana sidang. Beberapa pendukung Ahmad Yani melontarkan interupsi. Namun, pimpinan sidang tak mempedulikan mereka. (Baca juga: Muktamar PPP Kubu SDA Sempat Ricuh)