Tekan Angka Kematian Ibu, Belajarlah dari Kamboja
Editor
Maria Rita Hasugian
Jumat, 10 Oktober 2014 05:56 WIB
TEMPO.CO , Jakarta: Research dan Program Manager Perkumpulan Prakarsa, Victoria Fanggidae, menyarankan Indonesia belajar dari negeri tetangga dalam hal menurunkan angka kematian ibu. "Indonesia bisa belajar dari Kamboja," katanya pada acara Konferensi nasional Satu Dekade Prakarsa bertajuk Akselerasi Transformasi Menuju Indonesia Sehat dan Sejahtera di Crown Plaza, Jakarta, Rabu, 7 Oktober 2014.
Menurut Ria, sapaan Victoria, Kamboja memiliki prestasi yang bagus dalam penurunan angka kematian ibu dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data Global Burden Disease 2013 yang berhasil diolahnya, angka penurunan kematian ibu di negara itu antara 1990-2003 hanya mencapai 0,8 persen. Jumlah itu meningkat tajam antara tahun 2003-2013, tingkat angka penurunan kematian ibu di Kamboja mencapai 5,9 persen. Sebaliknya, tingkat angka kematian ibu antara tahun 1990-2003 mencapai 2,6 persen. Sayangnya, tingkat penurunan itu tidak terlalu meningkat antara tahun 2003-2013, yang hanya meningkat menjadi 2,8 persen.
Ria mengatakan, Kamboja berhasil karena telah meningkatkan akses pelayanan kesehatan melalui investasi besar-besaran pemerintahnya. "Peningkatannya dalam hal infrastruktur transportasi dan fasilitas kesehatan dari pos lokal hingga nasional," katanya.
Kamboja juga dinilainya telah memastikan akses universal kepada tenaga penolong kelahiran yang terlatih. Sejak pertengahan 2000-an, katanya, Kamboja menjalankan secara sistematis program peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Ria juga mencatat banyaknya pusat kesehatan yang beroperasi selama 24 jam penuh. Ada pula rumah tunggu serta ruang bersalin di Puskesmas ditambahkan untuk membuat pelayanan maternal lebih mudah diakses. "Kamboja juga memperkuat pelatihan bidan dan penyerapannya melalui distribusi yang baik," katanya.
Seluruh puskesmas memiliki 1 bidan utama dengan masa pelatihan 1 tahun dan lebih dari 50 persen puskesmas memiliki 1 orang bidan sekunder dengan masa pelatihan 3 tahun. Insentif pun diberikan kepada para bidan sebesar US$ 15 untuk setiap kelahiran hidup yang ditolong di puskesmas, dan US$ 10 untuk setiap kelahiran yang dirujuknya ke rumah sakit.
Dengan melihat Kamboja, ia memberikan beberapa saran untuk pemerintah Indonesia. Pertama, perlunya investasi besar-besaran infrastruktur kesehatan dan transportasi di daerah rentan, terutama daerah terisolir dan kepulauan.
Menurutnya, akses universal kepada tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan tidak berarti tanpa infrastruktur dan transportasi. Ia pun berharap pemerintah memperbaiki kualitas rumah sakit pemerintah berikut tenaga kesehatannya seperti jumlah dan kualifikasi dokter, pelatihan, dan penempatan bidan.
Dari penelitiannya itu, ia pun berharap agar pemerintah bisa lebih fokus memperhatikan kondisi para ibu saat periode paling kritis, seperti masa nifas dengan menginap di tempat perawatan paska melahirkan sampai periode kritis. Hal itu dilakukan terutama bagi para ibu di kawasan topografi sulit. Pemerintah juga diharapkan bisa fokus pada kelompok umur yang paling beresiko dengan meningkatkan kesehatan reproduksi.
Upaya preventif penyebab kematian ibu juga bisa dilakukan dengan pendidikan dan pemberian asupan gizi serta meningkatkan pemahaman kepada kelompok masyarakat pedesaan berpendapatan rendah.
MITRA TARIGAN
Baca juga:
Terbukti Aniaya Arfiand, Dua Siswa SMA 3 Dibui
Ilmuwan Desak DPR Kembalikan Hak Pilih Rakyat
Timnas U-19 Vs Uzbekistan, Indra Sjafri Merendah
Sinabung Muntahkan 102 Kali Guguran Lava